
Kebijakan Fiskal dan Tantangan Stagnasi Ekonomi
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha Maghfiruha Rachbini, menyampaikan pandangan mengenai kebijakan fiskal yang diambil pemerintah. Ia menekankan bahwa pengucuran dana lebih besar kepada masyarakat belum tentu menjadi solusi untuk mengatasi stagnasi ekonomi. Menurutnya, sektor riil masih menghadapi tantangan berat, termasuk masalah kebijakan dan lingkungan bisnis yang tidak kondusif serta rendahnya kepercayaan pelaku ekonomi.
Eisha menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam menyalurkan dana dari Bank Indonesia ke perbankan Himbara tidak secara langsung menyelesaikan masalah ekonomi. Hal ini karena permintaan masyarakat sedang turun akibat daya beli yang melemah, sementara di sisi suplai, sektor riil juga melambat di tengah ketidakpastian tinggi.
Pelemahan Sektor Riil
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Eisha, sektor riil menunjukkan pelemahan signifikan. Penjualan kendaraan menurun tajam, dengan penurunan 8,6% pada penjualan grosir dan 9,5% pada penjualan eceran antara Januari hingga Juni 2025. Selain itu, Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur berada di zona kontraksi selama Triwulan II 2025. Investasi asing langsung (FDI) juga mengalami penurunan dari Rp217,3 triliun menjadi Rp202,2 triliun akibat ketegangan geopolitik, proteksionisme, dan kompetisi global.
Permintaan domestik juga melemah, terlihat dari perlambatan konsumsi rumah tangga, inflasi yang meningkat sebesar 2,37% pada Januari hingga Juli 2025 dibandingkan 1,07% pada periode yang sama tahun lalu, serta peningkatan PHK sebesar 32% pada semester pertama 2025. Hal ini semakin menekan daya beli masyarakat.
Penurunan Kepercayaan Konsumen
Eisha menyoroti penurunan indeks keyakinan konsumen, yang turun dari 121,1 (Maret) menjadi 117,8 (Juni 2025). Di samping itu, ekspektasi penghasilan juga menurun dari 135,4 menjadi 133,2. Hal ini menunjukkan pesimisme terhadap prospek ekonomi rumah tangga.
Perlu Keseimbangan Ekonomi, Bukan Banjiran Likuiditas
Eisha menilai bahwa kebijakan fiskal yang dilakukan oleh Menteri Keuangan perlu mempertimbangkan keseimbangan ekonomi, bukan hanya membanjiri likuiditas. Menurutnya, injeksi likuiditas berlebihan justru dapat menciptakan ketidakseimbangan di pasar keuangan dan berdampak negatif pada sektor riil.
Menurut Eisha, likuiditas bukanlah masalah utama bagi bank-bank Himbara. LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan pada Juli 2025 mencapai 87%, yang masih di bawah batas aman OJK sebesar 94%. Pertumbuhan kredit dan DPK (Dana Pihak Ketiga) juga relatif stabil.
Masalah Utama Bukan pada Likuiditas
Eisha menjelaskan bahwa pertumbuhan kredit pada Juli 2025 sebesar 7% tidak mencerminkan masalah likuiditas, melainkan lemahnya permintaan kredit akibat ketidakpastian dunia usaha. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan undisbursed loan (pinjaman yang belum cair) mencapai 9,51% pada Juni 2025, bahkan mencapai 20,9% pada bank-bank persero.
Selain itu, posisi operasi moneter Bank Indonesia pada minggu pertama September 2025 mencapai Rp991 triliun, naik dari Rp904 triliun pada minggu yang sama tahun lalu. Ini menunjukkan adanya excess liquidity yang tidak digunakan untuk kredit, melainkan sebagian besar ditempatkan pada SBN dan SRBI.
Lemahnya Permintaan Kredit
Eisha menekankan bahwa tantangan pemerintah saat ini adalah lemahnya permintaan kredit dari masyarakat. Ia menyarankan pemerintah untuk melakukan strategi kebijakan fiskal yang dapat mendorong daya beli masyarakat.
Kebijakan stimulus seperti potongan pajak dan bantuan sosial dinilai sebagai insentif jangka pendek yang tidak sepenuhnya menjawab masalah fundamental, yaitu stagnasi pendapatan riil dan terbatasnya penciptaan lapangan kerja berkualitas.
Reformasi Struktural Sangat Diperlukan
Eisha menegaskan bahwa kebijakan fiskal saja tidak cukup untuk mengatasi hambatan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sektor riil. Masalah utama perbankan bukan terletak pada keterbatasan likuiditas, tetapi pada perlunya reformasi struktural untuk meningkatkan iklim investasi dan usaha.
Tanpa perbaikan distribusi pendapatan dan penguatan permintaan domestik secara berkelanjutan, efek stimulus akan cepat mereda begitu intervensi fiskal dihentikan. Oleh karena itu, reformasi struktural sangat mutlak diperlukan untuk meningkatkan kepastian usaha dan mendorong ekspansi dunia usaha.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!