
Pengelolaan Tanah Bengkok di Desa Kalirejo yang Menimbulkan Kekhawatiran
Pengelolaan tanah bengkok di Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, kini menjadi perhatian masyarakat setempat. Selama lebih dari 16 tahun, potensi Pendapatan Asli Desa (PAD) dari hasil lelang tanah bengkok diduga tidak masuk ke kas desa secara resmi. Hal ini menimbulkan dugaan adanya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan desa.
Sejumlah warga mengaku membayar sewa tanah bengkok langsung kepada Sekretaris Desa (Sekdes), bukan melalui mekanisme resmi lelang desa. Yatno, salah satu penggarap lahan, menyebut bahwa ia rutin membayar sewa lahan bengkok ke Sekdes Kalirejo dengan tarif sebesar Rp 3 juta per seperempat bau. Ia juga mengatakan ada sembilan warga lain yang menggarap lahan serupa, dengan tarif sewa berbeda tergantung lokasi. Lahan di tengah desa memiliki harga yang lebih tinggi sebesar Rp 500 ribu dibandingkan daerah lainnya.
Total luas lahan bengkok yang digarap oleh warga diperkirakan mencapai 9 bau atau sekitar 6 hektare sawah produktif. Nilai sewa yang diperoleh setiap tahun disebut cukup signifikan. Nama-nama penggarap yang disebut oleh warga antara lain Riali Santoso, Sujadi, Sumarno, Pasirin, Suji, Saadi, Yatno, Rebo, Gimin, dan Samidi.
Jika dihitung rata-rata sebesar Rp 3 juta per seperempat bau per tahun, potensi PAD dari tanah bengkok Kalirejo bisa mencapai ratusan juta rupiah. Namun, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kalirejo mengaku tidak pernah menerima laporan resmi hasil lelang tanah bengkok sejak 2009 lalu. Bahkan BPD pernah mengirimkan surat ke Bupati Grobogan pada 2024 terkait kejanggalan tersebut, tetapi hingga saat ini belum ada tindak lanjut.
Aturan pemerintah menyebut bahwa Sekdes yang diangkat sebagai PNS wajib menyerahkan separuh tanah bengkok karena sudah menerima gaji dari negara. Riali Santoso, Sekdes Kalirejo, diketahui diangkat sebagai PNS sejak 2009. Namun, dugaan penyimpangan pengelolaan bengkok mulai muncul sejak itu.
Lasiyem, bendahara desa, menyatakan bahwa memang ada pengembalian separuh tanah bengkok, tetapi besarannya tidak pernah jelas dilaporkan. Ia menjelaskan bahwa pihaknya hanya menerima laporan, sedangkan soal penyerahan ke BPD atau tidak, itu kewenangan panitia.
Kondisi ini membuat warga menilai ada ketidakjelasan dalam pengelolaan keuangan desa, khususnya terkait sumber PAD dari lahan bengkok. Selama 16 tahun, jika dihitung total, potensi kerugian desa akibat tidak masuknya setoran tanah bengkok ke kas resmi mencapai Rp 832 juta.
Sejumlah tokoh desa berharap kasus pengelolaan tanah bengkok Kalirejo segera ditindaklanjuti agar PAD Wirosari tidak terus dirugikan. Mereka menekankan pentingnya transparansi agar keuangan desa benar-benar dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat Kalirejo.
Kasus tanah bengkok di Kalirejo, Wirosari, Grobogan, menjadi pelajaran penting tentang akuntabilitas dan pengawasan pengelolaan PAD desa. Tanpa laporan resmi, PAD dari tanah bengkok Kalirejo terancam terus hilang. Warga menunggu langkah tegas pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah ini.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!