Mengapa Mantan Sering Dijadikan Korban Stalking? Penyebab, Dampak, dan Solusi Psikologis

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Mengapa Seseorang Masih Sering Stalking Mantan Setelah Putus?

Setelah mengalami putus cinta, banyak orang berjanji untuk benar-benar melupakan mantan dan move on. Namun, di era media sosial yang begitu mudah diakses, keinginan itu sering kali kalah oleh rasa penasaran. Jari terasa gatal untuk mengetik nama mantan di kolom pencarian, lalu diam-diam melihat story, unggahan baru, bahkan siapa saja yang sedang dekat dengannya.

Meski terlihat sepele, kebiasaan ini justru bisa membuat seseorang terjebak dalam siklus emosi lama yang justru menghambat proses penyembuhan. Penelitian menunjukkan bahwa 22,2% remaja menjadi korban stalking dari mantan setelah putus. Mayoritas kasus melibatkan kontak berulang atau bentuk pelecehan, dengan banyak korban mengalami lebih dari sepuluh insiden stalking selama periode pasca putus.

Sebanyak 74% kasus stalking berlangsung hingga enam bulan, dan 14% bahkan berlanjut lebih dari satu tahun. Dampaknya pun tidak sepele. Perempuan korban stalking dilaporkan mengalami gejala depresi dan kecemasan yang lebih tinggi, apalagi bila putusnya hubungan disertai kekerasan psikologis atau fisik.

Temuan ini menegaskan bahwa stalking mantan bukan sekadar kebiasaan iseng, melainkan fenomena serius yang perlu dipahami lebih dalam. Berikut adalah beberapa alasan mengapa seseorang masih sering melakukan stalking pada mantan:

1. Ikatan Attachment yang Sulit Dilepas

Dalam teori psikologi, kita semua punya attachment style yang terbentuk sejak kecil. Orang dengan secure attachment biasanya lebih mudah melepas dan percaya bahwa hidup akan baik-baik saja meski hubungan berakhir. Sebaliknya, mereka yang punya insecure attachment cenderung takut ditinggalkan, merasa cemas, atau terus mencari kepastian.

Saat hubungan putus, kehilangan pasangan bisa terasa seperti kehilangan “sumber rasa aman”. Akibatnya, stalking di media sosial jadi semacam cara untuk tetap merasa dekat, meski hanya lewat layar.

2. Rasa Kehilangan dan Krisis Identitas

Putus cinta bukan hanya soal kehilangan seseorang, tapi juga kehilangan rutinitas, rencana masa depan, bahkan bagian dari identitas diri. Banyak orang merasa hampa dan mempertanyakan nilai dirinya sendiri. Situasi ini bisa memicu dorongan untuk terus mencari tahu kabar mantan, seolah-olah informasi terbaru bisa mengisi kekosongan tersebut.

Sayangnya, semakin sering mengecek, semakin sulit pula benar-benar sembuh dari luka emosional.

3. Kebiasaan Overthinking yang Menguras Pikiran

Overthinking adalah kecenderungan untuk terus mengulang-ulang pikiran tentang masa lalu. Dalam konteks putus cinta, ini muncul lewat kebiasaan membuka foto lama, membaca ulang chat, atau stalking akun mantan. Tujuannya sesederhana mencari jawaban, mencoba memahami, atau berharap menemukan penjelasan.

Namun, alih-alih memberi kejelasan, rumination justru memperpanjang rasa sakit dan menahan kita dari langkah maju. Hal ini tentunya dapat membuat seseorang kembali stalking sang mantan.

4. Kebutuhan Akan Rasa Keterhubungan (Relatedness)

Manusia punya kebutuhan dasar untuk merasa terhubung dengan orang lain. Ketika hubungan berakhir, kebutuhan ini bisa terasa “terputus” secara mendadak. Riset menunjukkan bahwa ketika kebutuhan keterhubungan tidak terpenuhi, otak kita lebih rentan menghasilkan pikiran obsesif.

Ditambah dengan fantasi negatif seperti “dia sudah bahagia dengan orang lain” atau “aku tidak akan pernah dicintai lagi”, muncul dorongan kuat untuk mencari kedekatan kembali meski caranya lewat stalking.

5. Obsesi yang Dipicu Fantasi Negatif

Beberapa penelitian menemukan bahwa membayangkan skenario buruk setelah putus, misalnya membayangkan mantan bersama orang baru, dapat memperkuat pikiran obsesif. Pikiran obsesif inilah yang mendorong perilaku mencari kedekatan, termasuk memantau aktivitas mantan secara diam-diam.

Dengan kata lain, semakin seseorang membiarkan pikirannya dipenuhi bayangan negatif, semakin besar pula kemungkinan perilaku stalking muncul.

6. Sulit Mengendalikan Emosi Pasca Putus

Breakup sering kali membawa badai emosi: marah, sedih, kecewa, sekaligus rasa penasaran. Tidak semua orang punya mekanisme sehat untuk mengelola emosi tersebut. Pada akhirnya, stalking jadi semacam “pelarian” untuk meredakan kegelisahan sesaat.

Padahal, yang terjadi justru kebalikannya. Setiap kali melihat unggahan mantan, luka lama bisa terbuka lagi, bahkan memicu rasa cemas atau minder yang lebih dalam.

Dampak Stalking Mantan bagi Kesehatan Mental

Kebiasaan stalking mantan di media sosial sering dianggap sepele contohnya sekadar scroll profil atau lihat siapa yang mereka ajak jalan. Namun, di balik itu ada konsekuensi serius bagi kesehatan mental. Berikut dampak yang bisa muncul:

1. Memperpanjang Luka Emosional

Alih-alih membantu move on, stalking justru membuat luka semakin dalam. Setiap unggahan mantan bisa menjadi pemicu rasa sakit baru, entah itu munculnya kecemburuan, perasaan tidak cukup berharga, atau ketakutan ditinggalkan. Proses penyembuhan pun jadi terhambat karena ikatan emosional terus dipelihara lewat layar.

2. Meningkatkan Kecemasan dan Depresi

Riset menunjukkan bahwa orang yang sering memantau media sosial mantan lebih rentan mengalami gejala depresi, kecemasan, dan kesepian. Hal ini wajar, sebab paparan berulang terhadap kehidupan “baru” mantan bisa memunculkan rasa gagal atau rendah diri, seolah hidup sendiri tertinggal jauh dibandingkan mereka.

3. Terjebak dalam Siklus Obsesi

Stalking digital bekerja seperti lingkaran setan yaitu semakin sering mengecek, semakin kuat dorongan untuk kembali melakukannya. Media sosial dengan notifikasi dan algoritmanya memperkuat perilaku kompulsif ini. Akibatnya, seseorang sulit membangun batasan sehat dan terus mencari-cari informasi yang sebenarnya hanya menambah penderitaan.

4. Menghambat Pertumbuhan Pribadi

Salah satu tahap penting setelah putus adalah membangun kembali identitas dan masa depan. Namun, jika energi emosional habis untuk stalking, ruang untuk refleksi dan pengembangan diri jadi terbatas. Akhirnya, bukannya melangkah maju, seseorang malah terjebak pada masa lalu yang tidak bisa diubah.

Akhir Kata: Belajar Melepaskan dengan Cara yang Lebih Sehat

Stalking mantan memang sering terasa seperti jalan pintas untuk meredakan rasa penasaran atau kehilangan. Namun, kenyataannya justru memperpanjang luka dan menghambat proses pemulihan. Rasa sakit setelah putus adalah hal manusiawi, dan wajar bila butuh waktu untuk benar-benar pulih.

Beberapa langkah kecil yang bisa membantu antara lain:

  • Batasi akses media sosial – unfollow atau mute akun mantan untuk memberi ruang aman bagi diri sendiri.
  • Alihkan energi ke aktivitas baru – olahraga, hobi, atau belajar keterampilan bisa menjadi pengalihan yang positif.
  • Perkuat koneksi sosial – habiskan waktu dengan teman atau keluarga yang suportif.
  • Latih mindfulness – teknik seperti meditasi atau pernapasan dalam bisa membantu menenangkan pikiran obsesif.
  • Cari bantuan profesional bila perlu – psikolog atau konselor dapat memberi panduan yang lebih terarah saat rasa sakit terlalu berat ditanggung sendiri.

Melepaskan bukan berarti melupakan, tetapi memilih untuk memberi diri kesempatan tumbuh dan bergerak maju. Pada akhirnya, yang paling berharga bukanlah apa yang sudah hilang, melainkan ruang baru yang bisa kita ciptakan untuk diri sendiri.