
Menteri Keuangan Beri Peringatan Keras kepada 200 Wajib Pajak yang Mengemplang
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, memberikan peringatan tegas terhadap 200 wajib pajak yang tercatat sebagai pengemplang pajak. Mereka diwajibkan untuk melunasi tunggakan pajak dengan total nilai sebesar Rp 60 triliun dalam waktu satu minggu. Peringatan ini dikeluarkan karena status hukum dari para wajib pajak tersebut sudah inkrah, sehingga tidak ada alasan lagi untuk menunda pembayaran.
Purbaya menjelaskan bahwa jumlah tunggakan pajak yang harus dibayarkan oleh 200 wajib pajak ini sangat besar. Ia menyatakan bahwa jika mereka tetap tidak melunasi, konsekuensinya akan sangat berat. Namun, ia yakin bahwa dana sebesar Rp 60 triliun tersebut akan masuk ke kas negara pada tahun ini.
"Pasti masuk (bayar tunggakan pajak ke negara). Kalau enggak dia susah hidupnya di sini," ujarnya.
Realisasi Penerimaan Pajak dan Target APBN 2025
Hingga tanggal 31 Agustus 2025, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.135,4 triliun atau sekitar 54,7 persen dari target dalam outlook Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 senilai Rp 2.076,9 triliun. Dengan tambahan Rp 60 triliun dari tunggakan pajak yang kini sedang diproses, Purbaya optimistis target penerimaan pajak bisa lebih dekat tercapai.
Kemudahan bagi Wajib Pajak yang Taat
Selain mengambil langkah tegas terhadap pengemplang pajak, Purbaya juga memastikan bahwa pemerintah memberikan kemudahan bagi wajib pajak yang taat. Ia bahkan menyiapkan kanal pengaduan khusus jika ada kasus pemerasan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
"Kita melakukan fair treatment. Kalau sudah bayar pajak, jangan diganggu sama sekali. Dan nggak ada lagi cerita pegawai pajak, meras-meras itu," tuturnya.
Penutupan Celah Kebocoran Penerimaan Negara
Purbaya juga menegaskan komitmen pemerintah untuk menutup celah kebocoran penerimaan negara. Menurutnya, potensi kebocoran ini bisa bernilai lebih besar dari Rp 60 triliun yang saat ini sedang dikejar. Ia menyatakan bahwa target defisit APBN 2025 aman.
Penolakan Terhadap Wacana Tax Amnesty Berulang
Sebelumnya, Purbaya juga menolak wacana pemberlakuan kembali kebijakan tax amnesty. Menurutnya, pelaksanaan tax amnesty yang berulang justru memberi sinyal negatif kepada wajib pajak. Mereka bisa saja beranggapan bahwa mengabaikan kewajiban bukan masalah karena akan selalu ada pengampunan di masa mendatang.
“Kalau amnesty berkali-kali, gimana kredibilitas amnesty? Itu memberikan sinyal ke para pembayar pajak bahwa boleh melanggar nanti ke depan-depan ada amnesty lagi,” ujarnya.
Dasar Hukum dan Pengalaman Sebelumnya
Dasar hukum kebijakan ini tercantum dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan PMK No. 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Lewat mekanisme tersebut, pemerintah memberi keringanan berupa penghapusan tunggakan pokok, sanksi administrasi, hingga pidana pajak.
Indonesia telah dua kali menjalankan program serupa di era Presiden Joko Widodo, yakni periode 2016–2017 dan pada 2022 melalui PPS. Walau terbuka untuk semua, praktiknya program ini lebih banyak menyasar kalangan super kaya yang memiliki kewajiban pajak besar.
Namun, Purbaya menilai kebijakan itu bisa menjadi insentif bagi pengemplang pajak. “Setiap berapa tahun, kita mengeluarkan tax amnesty. Ini kan sudah satu, dua, nanti tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, ya sudah. Semuanya akan, message-nya adalah kibulin aja pajaknya, nanti kita tunggu tax amnesty, pemutihannya di situ. Itu yang enggak boleh,” ujarnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!