Tanggung Jawab KPU dalam Dokumen Pendidikan Kandidat

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Keterbukaan Dokumen Pendidikan sebagai Fondasi Kepercayaan dalam Pemilu

Kontroversi terkait dugaan ijazah palsu atau ketidakakuratan keterangan kesederajatan jenjang pendidikan kandidat yang kembali muncul dalam dinamika politik nasional menunjukkan adanya kelemahan dalam tata kelola Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini menjadi pertanyaan penting mengenai tanggung jawab KPU dalam memastikan kelengkapan dokumen yang menjadi syarat bagi calon pejabat publik.

Dokumen pendidikan, seperti ijazah, adalah salah satu persyaratan utama untuk menilai kelayakan seorang kandidat. Dengan demikian, KPU harus bertanggung jawab dalam memastikan bahwa semua dokumen tersebut benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Ijazah bukanlah dokumen pribadi, melainkan informasi publik yang harus tersedia untuk diakses oleh masyarakat. Berbeda dengan dokumen kesehatan, yang bersifat rahasia, ijazah wajib transparan agar publik dapat mengecek kebenarannya.

Transparansi ini sangat penting karena ijazah menjadi salah satu indikator utama dalam menilai kelayakan seseorang sebagai calon pejabat publik. Masyarakat berhak mengetahui dan melaporkan jika ada dugaan ketidakbenaran terkait ijazah atau surat keterangan kesederajatan jenjang pendidikan para kandidat. Oleh karena itu, KPU tidak boleh menyembunyikan arsip ijazah maupun surat keterangan tersebut. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik sudah jelas menyatakan bahwa dokumen-dokumen ini termasuk informasi terbuka.

Untuk calon kepala pemerintahan terpilih, baik presiden, gubernur, bupati, maupun walikota, dokumen pendidikan tersebut diteruskan oleh KPU ke Kementerian Sekretariat Negara dan Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. Dokumen ini kemudian dijadikan arsip negara sebagai dasar penerbitan SK pelantikan kandidat terpilih. Oleh karena itu, jika publik mempertanyakan kebenaran dokumen tersebut, KPU wajib memberikan penjelasan secara terbuka dan transparan. Menyembunyikan dokumen hanya akan memicu spekulasi liar yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penyelenggara pemilu.

Pemalsuan ijazah atau manipulasi tingkat kesederajatan jenjang pendidikan bukanlah hal baru. Banyak kasus telah terbukti di pengadilan, dan beberapa pejabat akhirnya dipecat atau dipidana karena menggunakan ijazah palsu. Fenomena ini menunjukkan rusaknya integritas kandidat yang menghalalkan segala cara agar bisa berkuasa. Karena itu, sudah saatnya KPU sebagai wasit menyusun aturan main baru yang lebih ketat, detail, dan tidak multitafsir.

Regulasi PKPU yang jelas akan menutup ruang manipulasi sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. KPU juga memiliki peran dalam munculnya kekisruhan perihal ijazah belakangan ini. Aturan yang lemah dan tidak rinci membuka ruang spekulasi publik. Kontroversi ini harus dijadikan pelajaran penting agar KPU tidak lagi membiarkan celah regulasi yang dapat menimbulkan kasus serupa di masa depan.

KPU bukan sekadar pelaksana teknis pemilu, tetapi penjamin legitimasi demokrasi. Kepercayaan rakyat pada demokrasi bergantung pada integritas KPU dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas dokumen calon. Sayangnya, persoalan ini bukannya semakin jernih, malah bertambah rumit dengan terbitnya PKPU No. 731 Tahun 2025 yang sempat menetapkan dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden, termasuk ijazah, sebagai informasi yang dikecualikan dari akses publik. Kebijakan ini bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi dan hak publik untuk mengawasi proses demokrasi.

Akhirnya, peraturan tersebut dianulir. Fakta ini menunjukkan adanya kecenderungan KPU untuk menutup ruang transparansi. Jika dibiarkan, maka hal ini akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi kita. Keterbukaan dokumen, terutama ijazah dan surat keterangan tentang tingkat kesederajatan pendidikan kandidat, adalah kunci menjaga pemilu berintegritas.

Pembuat UU Pemilu dalam revisi UU Pemilu No 7 Tahun 2017 nanti seyogianya mengaturnya dengan rinci. KPU harus memperbaiki regulasi PKPU dengan menutup celah hukum dan menjalankan fungsi transparansi tanpa kompromi. Hanya dengan cara itu kepercayaan publik terhadap demokrasi dan independensi KPU bisa tetap terjaga.