
Tantangan Produksi dan Penjualan Feronikel serta Bauksit di Antam
Manajemen PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau Antam menghadapi berbagai tantangan dalam produksi dan penjualan feronikel serta bauksit sepanjang tahun 2025. Direktur Utama Antam, Achmad Ardianto, menyebutkan bahwa salah satu faktor utama yang memengaruhi kinerja perusahaan adalah pembatasan produksi sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) serta aturan harga patokan mineral.
Achmad menjelaskan bahwa aturan-aturan tersebut menjadi kendala utama dalam operasional perusahaan. “Tantangan utama ada di feronikel dan bauksit. Produksi kami harus mengikuti batas RKAB, sementara penjualan wajib mengacu ke Harga Patokan Mineral (HPM),” ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR pada Senin, 29 September 2025.
Kondisi ini menurut Achmad membuat Antam harus lebih hati-hati dalam menjual produknya. “Sehingga inventory meningkat karena timing penjualan tidak selalu tepat,” tambahnya.
Dalam semester pertama tahun 2025, produksi feronikel Antam tercatat sebesar 9.067 ton Ni, turun 1,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 10.169 ton Ni. Dari jumlah tersebut, hanya 5.763 ton Ni yang berhasil dijual. Sementara itu, produksi bauksit justru meningkat tajam menjadi 1,38 juta wmt, naik 156 persen dari semester I-2024 yang sebesar 542.929 wmt. Namun, penjualan bauksit hanya mencapai 1,02 juta wmt karena keterbatasan pasar.
Achmad menjelaskan bahwa hambatan utama berasal dari Keputusan Menteri ESDM Nomor 268 Tahun 2025 yang mewajibkan penjualan feronikel dan bauksit minimal sesuai HPM. Meskipun ada kelonggaran untuk menjual di bawah harga patokan, kewajiban pembayaran pajak dan royalti tetap dihitung berdasarkan HPM maupun Harga Patokan Batu Bara (HPB).
“Aturan ini baik untuk mencegah undervaluation dan transfer pricing. Namun, implementasinya di lapangan masih menimbulkan tafsir berbeda. Kami harus hati-hati agar tidak salah langkah, apalagi aparat penegak hukum (APH) bisa menafsirkan berbeda dari yang dimaksud,” ujarnya.
Dalam aturan tersebut, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), IUPK, Kontrak Karya, maupun PKP2B yang sudah memiliki kontrak lama dengan harga di bawah HPM masih mendapat pengecualian. Namun, industri yang terintegrasi atau memiliki tambang sekaligus pabrik pengolahan menjadi pihak yang paling terdampak.
Achmad menilai perlu adanya komunikasi lebih jelas antara pelaku usaha, pemerintah, dan aparat penegak hukum agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penerapan regulasi. “Untuk Antam, aturan ini berdampak langsung pada penjualan feronikel dan bauksit. Dalam kasus bauksit, stok penuh membuat kami tidak bisa menambang lebih banyak karena penjualannya terbatas hanya kepada pihak terafiliasi,” kata dia.
Ia menambahkan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, BPKP, dan BPK untuk mencari solusi terbaik. “Kami berharap ada jalan keluar yang adil agar aturan tetap berjalan,” tutup Achmad.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!