
Keluarga Diplomat Mengadu ke DPR atas Ketidakjelasan Kematian Putranya
Subaryono, ayah dari diplomat Arya Daru Pangayunan (ADP), menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi XIII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (30/9). Ia menyampaikan keluhan terkait ketidakjelasan penyebab kematian putranya yang masih menjadi misteri hingga saat ini.
Subaryono menyatakan bahwa hingga kini belum ada kejelasan apa yang sebenarnya terjadi. “Belum ada satu keputusan yang jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi pada anak kami,” ujarnya. Ia mengaku telah mengikuti perkembangan kasus ini melalui berbagai sumber, baik dari pihak kepolisian maupun media. Namun, informasi tersebut dinilainya belum cukup untuk menjawab pertanyaan keluarga.
“Saya terus terang, sebagai orang tua, saya tinggal di Yogyakarta dan tidak tahu harus ke mana lagi menyampaikan hal itu,” tambahnya. Dalam rapat tersebut, hadir juga istri ADP, Meta Ayu Puspitantri, serta pengacara Nicholay Aprilindo. Turut serta dalam pertemuan ini adalah Dirjen Pelayanan dan Kepatuhan HAM dari Kementerian HAM, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta Ketua Komnas Perempuan.
Subaryono menyampaikan bahwa keterangan dari penyidik belum bisa menenangkan perasaan keluarga. “Penyampaian dari pihak penyidik pada waktu itu belum bisa menenangkan kami, terus terang saja,” katanya. Menurut keluarga, keterangan dari aparat masih dirasa tidak jelas dan kurang memuaskan.
Meskipun ia menghargai usaha pihak-pihak terkait yang bekerja keras, namun bagi keluarga, hal tersebut belum membuat mereka merasa lebih tenang. “Bagi kami, itu belum membuat kami merasa jelas dengan apa sebetulnya yang terjadi pada anak kami,” ujarnya.
Polda Metro Jaya telah menyelesaikan penyelidikan kasus meninggalnya ADP pada 30 Juli 2025. Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) juga telah menyelesaikan pemeriksaan kondisi psikologis ADP. Pemeriksaan dilakukan oleh tim yang terdiri dari tujuh orang psikolog. Hasil dari autopsi psikologis menunjukkan bahwa ADP diduga mengalami kelelahan mental.
Ketua Umum Apsifor Himpsi, Nathanael Sumampouw, menjelaskan bahwa dalam pekerjaannya, ADP dituntut untuk memiliki empati tinggi, kepekaan emosional, serta ketahanan psikologis dan sensitivitas sosial. Hal ini karena ia mengemban peran melindungi warga negara Indonesia (WNI) yang terjebak dalam situasi krisis di luar negeri.
“Ini semua tentu menimbulkan dampak seperti burnout, compassion fatigue atau kelelahan kepedulian, terus menerus terpapar dengan pengalaman-pengalaman penderitaan, trauma,” kata Nathanael dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Selasa (29/7).
Polda Metro Jaya mengumumkan bahwa kematian ADP bukan merupakan perkara pidana dan tidak melibatkan orang lain. “Kami belum menemukan adanya peristiwa pidana terhadap korban,” ujar Wira. Kesimpulan ini berdasarkan hasil penyelidikan berbagai ahli, termasuk ahli forensik dan psikolog forensik. Hasil autopsi oleh tim forensik RSCM menunjukkan bahwa ADP meninggal karena mati lemas akibat gangguan pertukaran oksigen di saluran napas bagian atas. Polisi juga menyatakan tidak ada indikasi kekerasan dalam kematian diplomat tersebut.
Pusat Identifikasi (Pusident) Mabes Polri menemukan hanya ada sidik jari ADP di lakban kuning yang melilit wajahnya. “Hasil dari tim identifikasi terkait sidik jari bahwa di lakban yang diperoleh yaitu sidik jari dari saudara ADP,” kata Perwakilan Pusident Bareskrim Polri, Aipda Sigit Kusdiyanto.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!