
Pemerintah Terus Berkomitmen Menanggung Selisih Harga Energi untuk Masyarakat
Pemerintah tetap menegaskan komitmennya dalam menanggung selisih harga keekonomian dengan harga yang dibayarkan masyarakat melalui berbagai bentuk subsidi dan kompensasi energi maupun non-energi. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa masyarakat dapat menikmati harga energi yang lebih murah, sehingga meningkatkan daya beli dan stabilitas ekonomi.
Menteri Keuangan menjelaskan bahwa saat ini harga keekonomian pertalite mencapai Rp11.700 per liter, sementara masyarakat hanya membayar Rp10.000 per liter. Dengan demikian, pemerintah harus menutupi selisih sebesar Rp1.700 per liter atau sekitar 15 persen. Total subsidi yang diberikan mencapai Rp56,1 triliun dan dinikmati oleh lebih dari 157,4 juta kendaraan.
Beban Subsidi yang Lebih Besar untuk Solar
Selain pertalite, beban subsidi yang ditanggung pemerintah juga lebih besar untuk bahan bakar solar. Harga keekonomian solar mencapai Rp11.950 per liter, namun masyarakat hanya membayar Rp6.800 per liter. Artinya, pemerintah harus menanggung selisih sebesar Rp5.150 per liter atau sekitar 43 persen dari harga keekonomian. Hal ini menjadi salah satu tantangan terbesar dalam pengelolaan anggaran negara.
Subsidi Elpiji yang Signifikan
Untuk elpiji tabung 3 kilogram, pemerintah memberikan subsidi sebesar 70 persen dari harga keekonomian. Harga elpiji seharusnya Rp42.750 per tabung, tetapi hanya dijual kepada masyarakat seharga Rp12.750. Dengan begitu, pemerintah menanggung selisih sebesar Rp30.000 per tabung. Total subsidi yang diberikan mencapai Rp80,2 triliun dan disalurkan kepada 41,5 juta pelanggan.
Skema ini membuat harga elpiji tetap terjangkau bagi masyarakat kecil, meskipun secara bersamaan memberikan tekanan besar pada APBN. Di sisi lain, pemerintah menilai bahwa subsidi energi masih menjadi instrumen penting untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat. Minyak tanah yang seharusnya dijual Rp11.150 per liter hanya dijual Rp2.500 per liter, sehingga pemerintah menanggung subsidi sebesar Rp4,5 triliun bagi 1,8 juta rumah tangga.
Subsidi Listrik dan Pupuk yang Juga Besar
Subsidi listrik juga cukup signifikan. Untuk rumah tangga dengan daya 900 VA, masyarakat hanya membayar Rp600/kWh dari harga keekonomian Rp1.800/kWh. Dengan demikian, pemerintah harus menanggung selisih sebesar Rp1.200/kWh atau 67 persen. Sementara itu, pelanggan 900 VA non-subsidi membayar Rp1.400/kWh dari harga keekonomian Rp1.800/kWh, sehingga pemerintah memberikan kompensasi sebesar Rp400/kWh. Total subsidi listrik pada 2024 mencapai Rp156,4 triliun dan dinikmati oleh lebih dari 40 juta rumah tangga.
Tidak hanya energi, pemerintah juga memberikan subsidi pupuk. Harga keekonomian pupuk urea mencapai Rp9.558/kg, namun petani hanya membayar Rp2.250/kg. Adapun pupuk NPK yang seharusnya Rp10.791/kg dijual Rp2.300/kg. Total subsidi pupuk mencapai Rp47,4 triliun untuk 7,3 juta ton pupuk bersubsidi.
Masalah Penyaluran Subsidi yang Belum Tepat Sasaran
Meski memiliki dampak positif, penyaluran subsidi energi masih belum sepenuhnya tepat sasaran. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), kelompok masyarakat mampu, khususnya desil 8–10, masih menikmati porsi signifikan dari subsidi yang seharusnya diprioritaskan bagi kelompok rentan. Hal ini menjadi tantangan utama dalam upaya pemerintah untuk memperbaiki sistem subsidi agar lebih berkeadilan.
Hingga 31 Agustus 2025, realisasi subsidi dan kompensasi tercatat sekitar Rp218 triliun. Angka tersebut dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak mentah Indonesia (ICP), depresiasi nilai tukar rupiah, serta meningkatnya konsumsi barang bersubsidi. Pemerintah terus berupaya untuk memperbaiki sistem subsidi dan kompensasi agar lebih efektif dan adil dalam mendistribusikannya kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!