
Desakan untuk Keadilan Reparatif dalam Konferensi Iklim Global
Ratusan kelompok lingkungan dan hak asasi manusia telah mengajukan desakan kuat kepada konferensi tingkat tinggi iklim global PBB atau COP30. Mereka menekankan pentingnya menghadapi akar sejarah krisis iklim dan memasukkan keadilan reparatif sebagai bagian dari agenda utama. Surat yang dikeluarkan oleh organisasi seperti Instituto Luiz Gama dari Brasil dan Caribbean Pan African Network menyatakan bahwa kejahatan historis seperti perbudakan dan kolonialisme telah menciptakan ketidaksetaraan global dalam akses sumber daya. Hal ini juga berdampak pada kontribusi asimetris terhadap emisi, meningkatkan kerentanan terhadap bencana, serta mengecualikan banyak pihak dari pengambilan keputusan terkait iklim.
“Tidak akan ada keadilan iklim sejati tanpa keadilan reparatif,” demikian pernyataan para penandatangan surat tersebut. Surat ini telah ditandatangani oleh lebih dari 240 organisasi dan tokoh masyarakat, termasuk Amnesty International Amerika Serikat (AS) dan cabang-cabang lokal Black Lives Matter. Dalam rangka mendukung isu ini, Menteri Lingkungan Hidup Kolombia juga menyatakan dukungan terhadap surat tersebut. Surat ini akan dikirim ke pemerintah Brasil dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pekan ini.
Krisis Iklim sebagai Kelanjutan Sejarah
Surat tersebut menyatakan bahwa krisis iklim bukanlah sesuatu yang baru, melainkan kelanjutan dari emisi gas rumah kaca, ekstraksi, perampasan, dan kekerasan rasial selama berabad-abad. Para penandatangan mendesak COP30 untuk mengatasi ketidakadilan historis dan kebutuhan akan reparasi sebagai bagian dari negosiasi apa pun tentang iklim. Mereka menekankan bahwa keadilan reparatif sangat penting bagi Brasil, karena negara ini menerima lebih banyak orang yang diperbudak daripada negara lain mana pun dan memiliki populasi keturunan Afrika terbesar di luar Afrika.
Desakan ini juga menyarankan agar Brasil dan COP30 menciptakan ruang resmi di KTT yang didedikasikan untuk keadilan iklim dan reparasi, yang dipimpin oleh orang Afrika, orang keturunan Afrika, dan masyarakat adat. Selain itu, surat tersebut meminta Brasil untuk memasukkan tema-tema ini ke dalam agenda politiknya dan secara aktif memfasilitasi percakapan semacam itu di COP30.
Momentum Baru untuk Tuntutan Keadilan Reparatif
Tuntutan keadilan reparatif yang telah berusia berabad-abad kini mulai mendapatkan momentum baru di seluruh dunia. Namun, reaksi keras terhadap tuntutan tersebut juga semakin meningkat. Beberapa kritikus berargumen bahwa negara dan lembaga modern tidak boleh membayar atau memberikan ganti rugi atas kesalahan sejarah. Meskipun begitu, Anielle Franco, Menteri Kesetaraan Rasial Brasil, pernah menyampaikan bahwa kesalahan masa lalu telah lama tidak diakui oleh mereka yang berkuasa. Ia menegaskan bahwa keadilan reparatif adalah tentang "membangun masa depan yang lebih bermartabat."
Upaya Mereparasi Ketidakadilan Historis
Upaya mereparasi ketidakadilan historis menjadi bagian penting dari negosiasi iklim. Surat tersebut menyoroti pentingnya mengakui peran sejarah dalam menciptakan ketidaksetaraan saat ini dan memastikan bahwa solusi iklim tidak hanya fokus pada pengurangan emisi, tetapi juga pada pemulihan dan keadilan sosial. Dengan memasukkan prinsip keadilan reparatif dalam agenda COP30, diharapkan dapat membuka ruang dialog yang lebih inklusif dan adil.
Selain itu, beberapa inisiatif pendanaan iklim juga sedang digagas. Contohnya, Indonesia menawarkan alternatif pendanaan iklim di COP30, sementara paviliun Indonesia akan difokuskan untuk promosi perdagangan karbon. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai negara dan organisasi mulai mengambil langkah konkret dalam menghadapi tantangan iklim dengan pendekatan yang lebih holistik dan inklusif.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!