
Penyerahan Sertifikat Reforma Agraria di Penajam Paser Utara
Pada hari Kamis (25/9/2025), Badan Bank Tanah (BBT) melakukan penyerahan sertifikat program Reforma Agraria yang berstatus Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan (HPL) untuk pertama kalinya. Acara ini berlangsung di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, yang merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Nusantara (IKN). Penyerahan sertifikat ini menjadi momen penting dalam upaya memberikan kepastian hukum dan keadilan agraria bagi masyarakat setempat.
Meski acara ini menandai langkah maju dalam reformasi agraria, program ini masih menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Mulai dari konflik lahan, tumpang tindih tata ruang, hingga masalah kepastian ekonomi jangka panjang bagi penerima sertifikat.
Realisasi Masih Minim
Dari target sebanyak 129 penerima sertifikat di PPU, hingga hampir setahun berjalan hanya 23 sertifikat yang telah terealisasi. Deputi Pemanfaatan Tanah dan Kerja Sama Usaha BBT, Hakiki Sudrajat, menjelaskan bahwa proses verifikasi menjadi faktor utama yang memperlambat realisasi.
“Identifikasi subjek dan objek dilakukan oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dipimpin oleh bupati, lalu diverifikasi bersama lurah dan aparat setempat,” ujar Hakiki. Proses ini melibatkan beberapa tahap, mulai dari Surat Keputusan (SK) bupati, penyerahan ke BBT, hingga pengesahan di Kementerian ATR/BPN.
Ia menambahkan bahwa birokrasi yang panjang memang bertujuan untuk memastikan legalitas, tetapi sering kali terkendala dengan masalah historis penguasaan lahan dan data tumpang tindih.
Konflik Lahan dan Status Hukum
Sekda PPU, Tohar, mengakui bahwa tumpang tindih lahan masih menjadi kendala nyata dalam implementasi program ini. “Penataan kembali untuk memastikan lahan bersih dan jelas memakan waktu, terlebih dengan kondisi geografis yang beragam,” ujarnya.
Selain itu, sertifikat yang diberikan bukan berupa hak milik, melainkan Hak Pakai di atas HPL dengan jangka waktu 10 tahun. Dalam periode tersebut, penerima wajib mengelola lahan secara produktif. Jika tidak, BBT berhak melakukan review dan mengambil kembali lahan tersebut.
“Ini bukan hak absolut. Ada kewajiban dan batas waktu. Artinya sertifikat ini adalah jaminan masa depan yang harus dijaga, bukan dialihkan demi keuntungan sesaat,” tegas Hakiki.
Kendala Tata Ruang dan Arah Ekonomi
Pemanfaatan lahan juga dibatasi oleh tata ruang yang berlaku. “Jika zonasinya untuk berkebun, jangan membuat bengkel atau perumahan,” kata Hakiki. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan, namun bisa menjadi disinsentif ekonomi bagi warga yang ingin diversifikasi usaha.
Untuk mengatasi hal ini, BBT menyiapkan berbagai program pemberdayaan, seperti peternakan ayam, tanaman pangan, hingga pola tanam yang sesuai dengan karakter lokal.
Lebih dari Sekadar Sertifikat
Menurut para pengamat, keberhasilan reforma agraria di PPU tidak semata-mata diukur dari jumlah sertifikat yang dibagikan. Tantangan terbesar adalah bagaimana BBT dan Pemda PPU mampu bersinergi untuk menjadikan lahan tersebut sebagai sumber produktif ekonomi jangka panjang. Tujuannya adalah agar lahan tersebut benar-benar menjadi warisan berharga untuk generasi mendatang, bukan sekadar komoditas jangka pendek.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!