Mengapa Rupiah Anjlok ke Rp 16.700 per Dolar? Ini 4 Penyebabnya

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelemahan Rupiah

Nilai tukar rupiah terus menghadapi tekanan berat hingga menembus ambang batas psikologis sebesar Rp 16.700 per dolar AS pada hari Kamis (29/9). Berbagai faktor baik dari dalam maupun luar negeri diketahui menjadi penyebab utama pelemahan ini.

Kondisi Geopolitik

Pengamat ekonomi, mata uang, dan komoditas, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa gejolak politik di Eropa turut memperparah situasi rupiah. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam sidang PBB beberapa waktu lalu menyampaikan pernyataan keras terhadap Rusia. Ia menegaskan bahwa Washington sedang mempertimbangkan sanksi baru yang bisa mengganggu aliran energi dari Rusia.

Meski belum ada kebijakan resmi, retorika Trump meningkatkan risiko geopolitik. Ada kekhawatiran bahwa sanksi lebih ketat dapat mengganggu ekspor Rusia atau bahkan memicu balasan dalam bentuk pembatasan pasokan. Di sisi lain, Ukraina juga meningkatkan serangan pesawat nirawak terhadap infrastruktur energi Rusia, termasuk kilang minyak dan terminal ekspor. Akibatnya, Rusia mengalami kekurangan pasokan bahan bakar tertentu, sehingga membuka kemungkinan adanya pembatasan ekspor jika diperlukan.

Spekulasi Suku Bunga The Fed

Data inflasi AS pada Agustus 2025 menunjukkan kenaikan indeks Personal Consumption Expenditures (PCE) sebesar 2,9% secara tahunan (yoy). Angka ini menjadi salah satu indikator penting bagi Bank Sentral AS, The Fed, dalam menentukan kebijakan moneternya. Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, mengatakan bahwa data ini memberi peluang bagi The Fed untuk memangkas suku bunga.

Spekulasi mengenai arah kebijakan The Fed langsung memengaruhi pasar. Ketua The Fed, Jerome Powell, menyatakan bahwa keputusan suku bunga tetap akan bergantung pada perkembangan data ekonomi. Menurut Ibrahim, mandat ganda The Fed membuat posisinya cukup rumit. Jika suku bunga terlalu lama dipertahankan, hal ini bisa berdampak negatif pada lapangan kerja. Situasi ini menunjukkan bahwa The Fed cenderung mengambil sikap dovish, meskipun dengan langkah yang tetap hati-hati.

Sentimen Kebijakan Purbaya

Dari dalam negeri, pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, menilai kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa belakangan turut memengaruhi rupiah. Salah satu kebijakan yang disoroti adalah penempatan dana sebesar Rp 200 triliun di perbankan. Kebijakan ini menambah likuiditas dan menurunkan imbal hasil obligasi, sehingga membuat aset rupiah kurang menarik dan menekan nilai tukar.

Selain itu, penolakan Purbaya terhadap program pengampunan pajak atau tax amnesty menuai respons negatif dari pasar. Penolakan ini muncul karena khawatir akan dimanfaatkan oleh para pengemplang pajak untuk kembali tidak patuh. Setiap Menteri Keuangan biasanya mempersiapkan tax amnesty, dan pasar selalu merespons positif. Namun kali ini, penolakan membuat pasar semakin apatis.

Kenaikan Bunga Deposito Valas

Empat bank BUMN yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN, secara bersama-sama mengumumkan rencana menaikkan bunga deposito valuta asing (valas) menjadi 4% mulai 5 November 2025. Kebijakan ini diduga menjadi salah satu pemicu pelemahan rupiah hingga menembus level Rp 16.700 per dolar AS pada pekan ini.

Bunga deposito valas yang ditawarkan saat ini jauh lebih rendah, seperti Bank Mandiri dan BNI menawarkan antara 0,75% hingga 1,75%, sedangkan BRI memberikan bunga antara 1,75% hingga 2%. Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, menilai kebijakan serentak ini dapat memengaruhi likuiditas rupiah, nilai tukar, serta kinerja perbankan secara keseluruhan.

Menurut Chatib, kenaikan bunga deposito dolar AS di dalam negeri akan menjadi insentif bagi deposan untuk mengalihkan aset dari rupiah ke dolar. Hal ini bisa meningkatkan permintaan dolar AS seiring langkah masyarakat atau korporasi menukarkan rupiah ke dolar. Konsekuensinya, likuiditas rupiah di pasar menurun karena dana rupiah keluar dari sistem perbankan untuk ditukar ke dolar AS. Kondisi ini dapat menimbulkan pengetatan likuiditas rupiah di pasar uang domestik, sehingga suku bunga rupiah bisa naik.

Kenaikan bunga deposito juga berpotensi menekan nilai tukar. Permintaan dolar meningkat karena bunga deposito valas lebih menarik, sehingga menimbulkan tekanan depresiasi rupiah. Chatib menambahkan bahwa tekanan ini terutama muncul jika selisih bunga dolar di bank Indonesia dengan rupiah makin kecil, membuat investor menilai dolar lebih atraktif, aman, dan rendah risiko kurs. Hasilnya, rupiah melemah terhadap dolar. Namun, jika BI melakukan intervensi atau menaikkan bunga rupiah untuk menjaga daya tariknya, dampaknya bisa berbeda.