Perbedaan Penyakit Ekonomi Era Sukarno dan Soeharto

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Perbandingan Masalah Ekonomi Era Sukarno dan Soeharto

Masalah ekonomi di Indonesia sering kali dibandingkan antara masa pemerintahan Presiden Sukarno dan Soeharto. Banyak orang menganggap penyakitnya sama, seperti inflasi, utang, dan korupsi. Meskipun gejalanya tampak mirip, sumber masalahnya sangat berbeda. Seperti dua pasien yang sama-sama demam, tetapi penyebabnya berbeda—satu karena virus, satu lagi karena gangguan imun tubuh. Memahami perbedaan ini penting agar kita tidak salah memahami riwayat ekonomi Indonesia.

Pada masa Sukarno, Indonesia sedang dalam proses bangkit setelah kemerdekaan. Negara baru saja lahir dan harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Seperti bayi yang kehabisan tenaga, energi besar dikeluarkan hanya untuk bertahan. Pemerintah menghadapi tantangan besar, termasuk pemberontakan daerah yang mengancam persatuan negara. Di saat bersamaan, ada tekanan dari kekuatan asing demi menjaga kedaulatan. Operasi Trikora dan Dwikora adalah contoh nyata dari upaya pemerintah dalam menjaga kedaulatan.

Fokus utama pada masa itu adalah politik dan kedaulatan. Ekonomi menjadi prioritas kedua. Akibatnya, harga-harga melonjak tajam, inflasi mencapai puncaknya di atas 600 persen (Bank Indonesia). Ini bukan hanya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan, tetapi juga biaya kemerdekaan yang harus dibayar oleh bangsa yang sedang mencari jati diri.

Setelah era Sukarno, tampuk kekuasaan berganti ke Soeharto. Arah kebijakan berubah drastis, dengan munculnya Orde Baru. Salah satu langkah penting adalah membuka pintu bagi modal asing melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Indonesia juga kembali aktif dalam lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Hasilnya cepat terlihat: ekonomi tumbuh pesat.

Data dari Bank Dunia menunjukkan pertumbuhan PDB sekitar 7 persen secara konsisten. Tren ini berlangsung lama hingga Indonesia dijuluki sebagai calon Macan Asia. Namun, tren pertumbuhan ini memiliki sisi yang kosmetik. Ibarat pelari yang menggunakan doping, tampak perkasa di trek, tetapi rapuh di dalam.

Kecepatan pertumbuhan ekonomi datang dengan biaya besar. Ketergantungan pada utang dan investasi asing semakin dalam. Utang luar negeri meningkat tajam. Pembangunan memang berjalan, tetapi tidak merata. Jurang antara kaya dan miskin melebar. Korupsi juga berubah wajah.

Di era Orde Baru, korupsi menjadi lebih terstruktur dan masif. Pemberantasan korupsi sering kali terasa sekadar formalitas karena praktiknya sudah menyatu dengan sistem kekuasaan. Fondasi ekonomi yang rapuh ini seperti bom waktu yang akhirnya meledak. Krisis moneter mengguncang Asia dan akhirnya menjatuhkan rezim Soeharto.

Menyebut kedua era mengidap penyakit yang sama terlalu menyederhanakan. Meski keduanya meninggalkan warisan yang berat, kerusakan di masa Sukarno banyak dipengaruhi oleh pergulatan politik dan kedaulatan. Sementara warisan Soeharto terlihat mentereng dari luar, tetapi keropos karena ketergantungan utang dan korupsi.

Penyakit yang lebih mendasar yang sama-sama ada adalah kegagalan membangun fondasi ekonomi yang mandiri dan lebih adil. Itu inti masalahnya. Dengan memahami perbedaan sumber masalah, kita bisa belajar dari masa lalu dan menghindari kesalahan yang sama di masa depan.