
Proyek Tanggul Laut Raksasa yang Mengundang Perdebatan
Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan rencana pembangunan proyek tanggul laut raksasa atau giant sea wall saat berpidato dalam Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa. Acara ini digelar di Markas PBB, New York, Amerika Serikat pada Selasa, 23 September 2025. Dalam pidatonya, Prabowo menyoroti dampak perubahan iklim yang telah dirasakan oleh Indonesia.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi ancaman kenaikan permukaan air laut yang semakin mengkhawatirkan. Menurut Prabowo, permukaan laut di pesisir utara ibu kota naik sekitar lima sentimeter setiap tahun. Ancaman ini, menurutnya, akan semakin parah jika tidak ada tindakan nyata dalam jangka panjang.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Prabowo menyampaikan ambisi pemerintahannya untuk membangun giant sea wall. Proyek ini direncanakan dibangun sepanjang 480 kilometer. Meski membutuhkan waktu sekitar 20 tahun, Prabowo menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki pilihan lain selain segera memulai proyek ini.
Komitmen Terhadap Perjanjian Paris dan Target Emisi Nol Bersih
Prabowo menekankan bahwa menghadapi perubahan iklim memerlukan langkah-langkah konkret, bukan hanya slogan. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memenuhi kewajiban Perjanjian Paris 2015, yaitu menahan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius dan mencapai emisi nol bersih. Target ini ditetapkan pada tahun 2060, meskipun Prabowo optimistis bahwa pencapaian bisa lebih cepat.
Proyek giant sea wall ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, Prabowo pernah menyampaikan rencana ini saat kampanye Pilpres 2024. Proyek ini juga menjadi bagian dari program infrastruktur di era Presiden Joko Widodo. Namun, proyek ini mendapat berbagai respons dari masyarakat.
Kritik dan Kekecewaan dari Masyarakat
Survei yang dilakukan oleh Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menunjukkan adanya ketidaksetujuan dari masyarakat terkait pembangunan giant sea wall. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 56,2 persen responden khawatir proyek ini akan berdampak pada lingkungan dan penghidupan nelayan.
Peneliti DFW Indonesia, Luthfian Haekal, menjelaskan bahwa survei dilakukan secara daring pada periode 20 Maret hingga 25 April 2025 terhadap 105 responden. Menurutnya, proyek ini bisa dilihat sebagai pelindung kawasan, tetapi juga menjadi ancaman ekologis.
"Mayoritas atau sebanyak 56,2 persen tidak setuju dengan giant sea wall, karena khawatir dampak lingkungan dan penghidupan nelayan," ujarnya dalam paparan daring, Rabu, 30 April 2025.
Tantangan dan Harapan Masa Depan
Meskipun proyek ini diharapkan dapat melindungi wilayah pesisir dari kenaikan air laut, para ahli dan masyarakat masih mempertanyakan dampak jangka panjangnya. Mereka berharap pemerintah dapat memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan dalam proses pembangunan.
Selain itu, penting bagi pemerintah untuk melakukan komunikasi yang transparan dengan masyarakat, terutama para nelayan yang hidupnya sangat bergantung pada kondisi laut. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, proyek giant sea wall bisa menjadi solusi yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi semua pihak.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!