Ribuan Triliun Harta Panas di Bawah Bayang-bayang RUU Perampasan Aset

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Ribuan Triliun Harta Panas di Bawah Bayang-bayang RUU Perampasan Aset

Kejaksaan Agung sedang mengusut kasus korupsi tata kelola migas 2019-2023 dengan estimasi kerugian negara fantastis Rp285 triliun, terbesar sepanjang sejarah kasus korupsi Indonesia. Belasan orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk pengusaha minyak Riza Chalid, yang kini berstatus buron. Nama Riza kerap muncul dalam bahasan soal mafia migas. 

Selain sangkaan korupsi, Riza dijerat melakukan pencucian uang karena Kejaksaan menemukan harta yang diduga miliknya, tapi tercatat atas nama orang lain. “(Tim penyidik) tidak hanya mengejar keberadaan yang bersangkutan, tetapi tetap menelusuri aset-aset untuk pemulihan kerugian negara nantinya,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, awal September lalu.

Hampir bersamaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanuel Ebenezer sebagai tersangka dalam perkara pemerasan terkait sertifikasi keselamatan dan kesehatan kerja. Loyalis Jokowi yang dulu mendukung hukuman mati terhadap koruptor itu diduga menerima aliran duit haram sebesar Rp 3 miliar. Kejaksaan menyita puluhan kendaraan mewah miliknya.

Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan bila ada RUU Perampasan Aset, ceritanya bakal berbeda: perampasan bisa berjalan bersamaan dengan pemidanaan. “Kalau sekarang prosesnya kami tetapkan tersangka, kalau pasif, bisa kami lakukan penyitaan. Kalau perampasan aset sudah disahkan, bisa pakai cara-cara sederhana,” ujarnya, Agustus lalu. 

Seandainya Indonesia sudah memiliki UU Perampasan Aset, negara tak perlu menunggu vonis pidana untuk mengupayakan perampasan harta. Draf aturan yang diselesaikan pemerintah tahun 2022, memberikan kewenangan kepada jaksa mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri untuk merampas aset yang diduga hasil kejahatan tanpa menunggu putusan pidana.

Prinsipnya: bila tersangka atau terdakwa tindak pidana gagal membuktikan legalitas hartanya, negara berhak mengambil alih. Skema ini dikenal dengan non-conviction based forfeiture (NCB) dan unexplained wealth, yang sudah dipakai banyak negara antara lain Singapura, Filipina, Australia, dan Amerika Serikat. Perampasan aset bisa berjalan sekali pun tersangka atau terdakwa meninggal, buron, lolos dari jerat pidana, atau divonis bersalah tapi kemudian penegak hukum menemukan aset hasil tindak pidana yang belum dirampas.

Dengan aturan perundang-undangan yang berlaku selama ini, upaya pemulihan kerugian negara memang kerap menghadapi jalan berliku, bahkan jurang. Misalnya, dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terkait krisis moneter 1998. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari Rp147,7 triliun yang digelontorkan negara ke 48 bank, sebesar Rp138,4 triliun dinilai sebagai kerugian negara karena adanya dugaan penyalahgunaan dana. Namun, pada 2019, Mahkamah Agung menetapkan masalah BLBI bukan perkara pidana, melainkan perdata.

Pemerintah kemudian membentuk Satuan Tugas BLBI yang dipimpin oleh Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan untuk menagih pengembalian dana, termasuk lewat jalur gugatan perdata. Target pengembalian sekitar Rp 100 triliun. Namun, hingga 2024, duit kembali baru Rp38,8 triliun. Problemnya, duit BLBI sudah lama "menguap". Di sisi lain, sejumlah aset bank sudah berpindah tangan sehingga sulit ditarik kembali.

Terkini, Menteri Keuangan baru Purbaya Yudi Sadewa mempertimbangkan untuk move on saja. “Satgas BLBI dapatnya apa? Kalau enggak ada, berarti memang enggak ada duitnya, sudah habis. Tapi saya akan lihat seperti apa. Tapi kalau memang cuma menimbulkan keributan, (Satgas BLBI) enggak usah (dilanjutkan)," ujarnya.

Tahun ini adalah tahun ke-17 RUU Perampasan Aset jadi “wacana”. Diinisiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2008, RUU ini selanjutnya hanya “mondar-mandir” sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tanpa pernah dibahas di DPR. Pada 2023, Presiden Jokowi mengirim Surat Presiden meminta DPR membahas RUU Perampasan Aset, dengan menyodorkan draf RUU buatan pemerintah. Namun, draf dianggurkan DPR. Elite politik disebut khawatir aturan ini menjadi senjata penguasa terhadap lawan politik hingga alat pemerasan oleh penegak hukum.

Kini, setelah demonstrasi besar-besaran beberapa waktu lalu, Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas Prioritas 2025 sebagai inisiasi DPR. Ini mengindikasikan bakal adanya draf baru. Pertanyaannya, seberapa besar aliran uang panas terkait korupsi dan tindak pidana lainnya? Bagaimana kinerja pengembalian kerugian negara di bawah aturan perundang-undangan yang berlaku saat ini? Dan, bagaimana prospek pengesahan RUU Perampasan Aset?

   

Ribuan Triliun “Duit Panas” Terlacak

Data-data dari lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat antikorupsi menunjukkan besarnya aliran uang yang patut diduga merupakan hasil kejahatan. Sekadar catatan, draf RUU Perampasan Aset yang dibuat pemerintah tidak mengkhususkan bahwa aturan perampasan hanya berlaku untuk tindak pidana korupsi.

Sepanjang 2024, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat nilai transaksi mencurigakan terkait tindak pidana mencapai Rp1.400 triliun. Hampir 70 persennya berhubungan dengan korupsi, sisanya banyak berasal dari pelanggaran perpajakan dan praktik perjudian.

 

Sedangkan berdasarkan data yang dihimpun ICW, sepanjang periode 2019–2023, kerugian negara akibat korupsi mencapai sekitar Rp234,8 triliun. Dari jumlah itu, hanya Rp32,8 triliun atau sekitar 13,9 persen yang berhasil dikembalikan. “Ini menurut kami adalah preseden buruk bagi pemberantasan korupsi karena tidak bisa mendapatkan nilai kerugian negara atas perilaku koruptor," kata Wana Alamsyah, Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, dalam diskusi bertajuk 'Tarik Ulur Nasib RUU Perampasan Aset' di Jakarta Selatan, Jumat (19/9).

Naskah akademik RUU Perampasan Aset menyoroti kelemahan UU Tindak Pidana Korupsi yang berlaku saat ini sehingga negara kerap gagal memulihkan kerugian secara maksimal. Salah satu kelemahan yang dimaksud yaitu, kewajiban membayar uang pengganti bisa diganti dengan tambahan hukuman penjara. Di sisi lain, tambahan kurungan tidak bisa lebih lama dari ancaman pidana pokok. Alhasil, banyak koruptor memilih menjalani tambahan kurungan ketimbang mengembalikan uang hasil kejahatan.

UU Tindak Pidana Korupsi juga membatasi jumlah uang pengganti hanya setara dengan keuntungan yang terbukti di pengadilan. Sementara korupsi semakin kompleks dan membutuhkan pembuktian detail. Artinya, bila penuntut kesulitan membuktikan seluruh aliran dana, sebagian harta koruptor tetap aman dari perampasan. Para pelaku juga biasanya sudah lebih dulu menyembunyikan atau memindahkan aset, termasuk ke luar negeri. Alhasil, upaya pelacakan harta (asset tracing) pun menjadi pekerjaan berat.

   

Dunia internasional memandang korupsi Indonesia di tingkatan yang buruk. Dalam Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index) 2024 yang dirilis Transparency International, Indonesia memperoleh skor "merah" 34 dari 100 dan berada di peringkat 115 dari 180 negara. Skor ini turun dibandingkan 2022 dan 2021, mengindikasikan masih rendahnya efektivitas penegakan hukum dan pencegahan korupsi.

   

Perampasan Aset di Negara Lain: Belajar dari Singapura dan Amerika Serikat

Di beberapa negara, mekanisme perampasan aset tanpa vonis pidana atau NCB dirancang dengan “pagar ketat” guna mencegah kesewenang-wenangan dari aparat penegak hukum.

Singapura misalnya, dalam Undang-Undang Kejahatan Terorganisir atau Organised Crime Act membolehkan perampasan aset dengan cara ini untuk kasus kejahatan terorganisir dan kejahatan serius. Sedangkan Undang-Undang Korupsi, Perdagangan Obat Terlarang dan Kejahatan Serius mengizinkan mekanisme itu dilakukan dalam kondisi luar biasa seperti terdakwa meninggal, kabur, atau sulit dihadapkan ke persidangan. Mekanisme perampasan tetap melalui jalur pengadilan.

Amerika Serikat, dalam Civil Asset Forfeiture Reform Act (CAFRA) 2000, mengatur bahwa pemilik aset berhak menggugat balik, mengajukan banding, hingga memperoleh kompensasi jika penyitaan terbukti salah sasaran. Meski begitu, kritik masih deras mengalir antara lain menyoroti bagi hasil perampasan (equitable sharing) antarlembaga penegak hukum. Ketentuan insentif finansial ini dinilai memicu penyalahgunaan aturan, sehingga muncul desakan transparansi dan audit ketat.

   

Perkembangan di DPR: Draf Baru hingga Kemungkinan Tak Selesai Tahun Ini

Ketua Badan Legislasi DPR Bob Hasan mengatakan, meski RUU Perampasan Aset masuk Prolegnas Prioritas 2025, bukan berarti RUU diketok palu tahun ini. Alasannya, memastikan publik memahami sustansinya dan dilibatkan dalam pembahasannya.

”Jangan salah paham. RUU Perampasan Aset memang prioritas 2025, tetapi yang terpenting sekarang publik harus tahu isinya,” kata Bob seusai rapat evaluasi Prolegnas Prioritas 2025 dan penyusunan Prolegnas Prioritas 2026 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (17/9).

DPR mengisyaratkan bakal membuat naskah akademik dan draf baru. Namun, bukan berarti naskah akademik dan draf yang sebelumnya disiapkan pemerintah dibuang. "Akan dicoba dikombinasikan,’ ujarnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menerangkan, RUU Perampasan Aset dibahas setelah pihaknya merampungkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Tujuannya, agar ketentuan dalam RUU Perampasan Aset tidak bertabrakan dengan ketentuan dalam undang-undang lainnya.

"Jadi kami akan bahas itu (RUU Perampasan Aset) setelah KUHAP selesai," ujarnya, Rabu (24/9). RUU KUHAP, kata dia, belum juga selesai karena banyak masyarakat yang ingin menyampaikan masukan.

Lembaga-lembaga swadaya masyarakat di bidang antikorupsi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan pembahasan RUU Perampasan Aset dilakukan berbarengan saja dengan RUU KUHAP. Koalisi menilai draf yang sudah ada tidak perlu dirombak total. Dan, Koalisi meminta DPR transparan dan melibatkan publik dalam pembahasannya.

"DPR tidak boleh melakukan pembahasan RUU Perampasan Aset dengan terburu-buru, tanpa melibatkan seluruh elemen masyarakat sipil. Pembahasannya pun tidak boleh serampangan," kata Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW Wana Alamsyah.

 

Ketahuan Gara-Gara Bambang Pacul: Tantangan RUU Perampasan Aset dan Rencana Aturan yang Buat Menangis

Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul pernah membuka tabir penyebab RUU Perampasan Aset belasan tahun hanya mondar-mandir di Prolegnas, dan alasan terganjalnya RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Dalam rapat Komisi III DPR tahun 2023, Bambang yang kala itu menjadi ketua komisi, blak-blakan menyebut pembahasan RUU sangat ditentukan oleh restu ketua umum partai. “Lobinya jangan di sini, Pak. Ini ‘korea-korea’ nurut bosnya masing-masing,” katanya menanggapi desakan Menko Polhukam ketika itu Mahfud MD agar pembahasan dipercepat.

Bambang bercerita bahwa dua Presiden pernah bertanya: mana yang bisa dibahas RUU Pembatasan Uang Kartal atau Perampasan Aset? Lalu, ia pun menjawab, pembatasan uang kartal membuat DPR menangis. “Kenapa? Masa bagi duit harus pakai e-wallet. Limit E-wallet cuma 20 juta lagi, enggak bisa, Pak, nanti mereka enggak jadi (anggota DPR) lagi,” ujarnya.   

Mahfud belakangan mengaku sudah menanyakan langsung sikap elite partai. Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP sekaligus bos Bambang Pacul, menyatakan dukungan. Tapi dengan catatan: perbaiki dulu kepolisian dan kejaksaan agar perampasan aset tidak jadi ladang korupsi baru. Mahfud sepakat ada risiko itu, tapi menunggu aparat bersih sempurna akan memakan waktu lama.

Dalam Chanel Youtube pribadinya, Mahfud mengatakan UU Perampasan Aset adalah janji dari UU No 7 Tahun 2006 yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003. Risiko penyalahgunaan bisa dikendalikan lewat penegakan hukum untuk jaksa dan polisi. Selain itu, “Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan oleh jaksa dan polisi selaku penyidik, perampasan aset tidak bisa langsung oleh penyidik, melainkan harus dibawa ke pengadilan dulu melalui jaksa pengacara negara,” ujarnya.

"Pekerjaan rumah" pembenahan undang-undang untuk mendukung pemberantasan korupsi tak selesai dengan RUU Perampasan Aset diketok palu. ICW menilai perlu adanya revisi UU KPK untuk mengembalikan independensi KPK, penguatan UU Tindak Pidana Korupsi, aturan konflik kepentingan, aturan perlindungan saksi dan korban, hingga UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal yang disebut Bambang Pacul bisa buat DPR "menangis".