
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Asia Tenggara Dikurangi
Asian Development Bank (ADB) baru-baru ini menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 menjadi 4,9%, dari sebelumnya 5%. Untuk tahun 2026, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dikurangi dari 5,1% menjadi 5%. Angka ini lebih rendah dibandingkan target pemerintah dalam APBN 2025 yang sebesar 5,2% dan APBN 2026 sebesar 5,4%.
ADB tidak memberikan penjelasan rinci mengenai alasan penurunan proyeksi tersebut. Namun, ADB juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi kawasan Asia dan Pasifik berkembang masing-masing sebesar 0,1 dan 0,2 poin persentase. Pada tahun ini, pertumbuhan kawasan diperkirakan hanya mencapai 4,8%, sementara pada tahun depan diproyeksikan sebesar 4,5%. Angka ini lebih rendah dibandingkan proyeksi bulan April yang masing-masing sebesar 4,9% dan 4,7%.
Pengaruh Tarif dan Ketidakpastian Perdagangan Global
Ekonom ADB Albert Park menyatakan bahwa tarif tinggi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) serta meningkatnya ketidakpastian perdagangan akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan kawasan Asia dan Pasifik. Inflasi di kawasan ini diperkirakan akan terus menurun menjadi 1,7% pada tahun ini, seiring dengan penurunan harga pangan dan energi. Namun, inflasi diperkirakan sedikit meningkat menjadi 2,1% pada tahun depan seiring normalisasi harga pangan.
“Tarif AS telah mencapai tingkat tertinggi sepanjang sejarah, dan ketidakpastian perdagangan global tetap tinggi,” ujar Albert dalam pernyataannya, Selasa (30/9/2025). Meski demikian, pertumbuhan di negara-negara berkembang Asia dan Pasifik masih cukup tangguh berkat ekspor yang kuat dan permintaan domestik yang stabil. Namun, kondisi eksternal yang semakin memburuk mulai memengaruhi prospek ekonomi kawasan ini.
Rekomendasi untuk Pemerintah
Di tengah lingkungan perdagangan global yang dinamis, sangat penting bagi pemerintah untuk terus mempromosikan pengelolaan ekonomi makro yang baik, keterbukaan, dan integrasi regional yang lebih luas. Hal ini diharapkan dapat membantu menjaga stabilitas ekonomi di tengah tantangan yang semakin besar.
Proyeksi Pertumbuhan Negara-Negara Lain
Proyeksi pertumbuhan ekonomi China tetap tidak berubah, karena dukungan kebijakan diperkirakan akan meredam dampak tarif yang lebih tinggi dan pelemahan pasar properti. Perekonomian RRT diperkirakan tumbuh sebesar 4,7% pada tahun 2025 dan 4,3% pada tahun 2026.
Sementara itu, tarif tinggi AS yang dikenakan pada ekspor India mulai Agustus diperkirakan akan membebani pertumbuhan ekonomi negara tersebut. ADB kini memproyeksikan pertumbuhan ekonomi India sebesar 6,5% untuk tahun 2025 dan 2026, turun dari proyeksi bulan April yang masing-masing sebesar 6,7% dan 6,8%.
Penurunan Proyeksi Pertumbuhan Asia Tenggara
Perekonomian di Asia Tenggara mengalami penurunan proyeksi pertumbuhan terbesar akibat melemahnya permintaan global dan meningkatnya ketidakpastian perdagangan. Pertumbuhan subkawasan ini kini diproyeksikan sebesar 4,3% untuk tahun 2025 dan 2026, turun 0,4 poin persentase per tahun dibandingkan proyeksi bulan April.
Proyeksi pertumbuhan Kaukasus dan Asia Tengah sedikit ditingkatkan untuk tahun ini menjadi 5,5%, namun untuk tahun depan dipangkas sebesar 0,1 poin persentase menjadi 4,9%. Hal ini disebabkan oleh penurunan produksi minyak dan gas di beberapa negara di subkawasan tersebut.
Proyeksi Pertumbuhan di Pasifik
Untuk perekonomian di Pasifik, proyeksi pertumbuhan telah dinaikkan 0,2 poin persentase menjadi 4,1% pada tahun ini, didorong oleh peningkatan output pertambangan. Namun, proyeksi pertumbuhan subkawasan untuk tahun depan diturunkan menjadi 3,4% dari 3,6% pada bulan April, karena ekspektasi output sumber daya yang lebih lemah dan ekspor komoditas yang lebih rendah.
Risiko Utama bagi Negara Berkembang di Asia dan Pasifik
Menurut Albert, risiko utama bagi prospek negara-negara berkembang di Asia dan Pasifik meliputi ketidakpastian yang berkelanjutan seputar kebijakan perdagangan AS, khususnya kemungkinan tarif sektoral untuk semikonduktor dan farmasi. Selain itu, negosiasi perdagangan AS-China yang belum terselesaikan juga menjadi ancaman.
“Ketegangan geopolitik yang berkelanjutan, potensi penurunan lebih lanjut di pasar properti RRT, dan kemungkinan volatilitas pasar keuangan juga dapat memengaruhi prospek kawasan ini,” tambah Albert.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!