
Aliansi Ekonom Indonesia Minta Pemerintah Hentikan Sementara Program Makan Bergizi Gratis
Sebanyak sepuluh perwakilan dari Aliansi Ekonom Indonesia (AEI) mengunjungi kantor Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada Senin, 29 September 2025. Dalam pertemuan tersebut, mereka menyampaikan permintaan untuk menghentikan sementara program Makan Bergizi Gratis (MBG). Hal ini dilakukan setelah terjadi beberapa kasus keracunan yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan awal program tersebut.
Setelah berdiskusi dengan pejabat pemerintah, para ekonom AEI menjelaskan bahwa terdapat masalah dalam alokasi anggaran yang digunakan untuk MBG. Mereka menilai dana yang dialokasikan terlalu besar dan tidak efektif, terutama setelah terjadi kejadian keracunan massal. Salah satu perwakilan AEI, Lili Yan Ing, mengatakan bahwa MBG perlu dihentikan sementara karena adanya misalokasi dana yang signifikan.
Menurut data yang disampaikan oleh AEI, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 71 triliun untuk tahun ini dan meningkat menjadi Rp 335 triliun pada tahun depan. Namun, AEI memperkirakan bahwa hanya butuh dana sebesar Rp 8 triliun dalam waktu satu tahun agar program tersebut dapat berjalan secara efisien. Perhitungan ini didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang menunjukkan bahwa hanya 4 persen dari total 80 juta siswa menyatakan kekurangan makanan. Artinya, hanya sekitar 3,2 juta siswa yang benar-benar membutuhkan bantuan.
Lili Yan Ing menjelaskan bahwa jika menggunakan perhitungan sederhana, biaya yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 10 ribu per hari selama 20 hari dalam sebulan dan 12 bulan dalam setahun. Jika dihitung, jumlahnya tidak melebihi Rp 8 triliun. Namun, anggaran yang dialokasikan jauh lebih besar, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang penggunaannya.
Selain itu, peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, juga menyampaikan kekhawatiran terhadap dampak keracunan yang terjadi akibat MBG. Ia menilai bahwa program ini justru kontraproduktif karena tujuannya adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Keracunan yang terjadi bisa menyebabkan beban tambahan bagi keluarga penerima manfaat, terutama yang termasuk dalam kelompok rentan atau miskin.
Riefky menekankan bahwa biaya pemulihan akibat keracunan tidak termasuk dalam anggaran MBG yang sudah tidak efisien. Hal ini membuat situasi semakin memburuk bagi keluarga-keluarga yang mungkin tidak memiliki kemampuan finansial untuk menanggung biaya tambahan tersebut.
Para ekonom dari AEI meminta pemerintah segera menghentikan program MBG sementara hingga ada evaluasi lebih lanjut. Berdasarkan catatan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (Cisdi) per 19 September 2025, tercatat lebih dari 5.000 siswa yang mengalami keracunan akibat mengonsumsi MBG. Kondisi ini menunjukkan bahwa program tersebut memerlukan peninjauan ulang agar tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!