
Kebijakan MBG yang Mengandung Makanan Ultra-Olahan
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyatakan bahwa makanan ultra-olahan atau Ultra Processed Foods (UPF) akan tetap dimasukkan ke dalam menu Makan Bergizi Gratis (MBG). Pernyataan ini disampaikan saat ia menghadiri rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Menteri Kesehatan, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN RI, serta Kepala BPOM di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (1/10).
Awalnya, Wakil Ketua Komisi IX, Charles Honoris, menanyakan apakah UPF akan tetap digunakan dalam program MBG. Ia bertanya, "Apakah BGN memiliki komitmen untuk tidak menggunakan makanan ultra-proses dalam MBG?" Dadan kemudian menjelaskan bahwa kritik terhadap makanan ultra-proses berasal dari kadar gula yang tinggi. Namun, ia menekankan bahwa makanan tersebut telah melewati tahapan pengolahan yang memastikan kebersihan dan keamanannya sebelum dikonsumsi.
Menurut Dadan, meskipun beberapa produk mengandung banyak gula, pihaknya akan berusaha menghindarinya. Namun, untuk produk-produk tertentu seperti susu UHT dengan rasa plain, ia menilai tidak ada masalah. "Kami tetap akan menggunakan makanan ultra-proses karena bisa dikonsumsi dalam jangka waktu pendek," ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya mendukung produk UMKM, terutama jika diproduksi secara higienis. "Kami akan mengutamakan produk UMKM dan apalagi kalau diproduksi secara higienis," tambahnya.
Kritik Terhadap Menu MBG
Sebelumnya, ahli gizi dr Tan Shot Yen memberikan kritik terhadap menu MBG. Dalam rapat bersama Komisi XI DPR, ia menyampaikan kekhawatirannya tentang penyajian menu seperti burger, spaghetti, dan produk olahan sebagai bagian dari MBG. Menurutnya, menu-menu tersebut tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak.
Tan menyarankan agar MBG menyediakan menu makanan bergizi dari berbagai daerah. Ia ingin anak Sulawesi dapat menikmati kapurung, sementara anak dari Lhoknga hingga Papua hanya diberi burger. "Tepung terigu tidak pernah tumbuh di bumi Indonesia," katanya.
Ia juga meminta agar distribusi makanan kering yang mengacu pada produk industri dihentikan. Menurutnya, makanan lokal harus menjadi prioritas dalam MBG. "Alokasikan menu lokal sebagai 80% isi MBG di seluruh wilayah," ujarnya.
Tantangan dalam Pengambilan Keputusan
Tan menyadari bahwa tidak semua anak suka makanan lokal. Namun, menurutnya, menggunakan UPF bukanlah solusi yang tepat. "Saya setuju bahwa ada anak yang tidak suka dengan pangan lokal karena mereka tidak terbiasa. Tapi bukan berarti lalu request anak-anak. Kalau request-nya cilok, mati kita," kata dia.
Dari kritik dan pandangan yang disampaikan, terlihat bahwa program MBG masih menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan antara kebutuhan nutrisi, preferensi anak, dan ketersediaan makanan yang aman dan sehat. Dengan adanya penjelasan dari BGN, diharapkan kebijakan MBG dapat terus disempurnakan agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!