
Kebijakan Bunga Deposito Valas: Potensi Tantangan dan Solusi yang Diperlukan
Pemerintah mengambil langkah untuk mendorong bank-bank Himbara menaikkan bunga deposito valuta asing (valas) guna menarik aliran modal asing. Namun, kebijakan ini memicu berbagai perdebatan di kalangan para ekonom. Meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan masuknya dana asing, kebijakan tersebut dinilai memiliki risiko jangka panjang jika tidak diiringi dengan pembuatan aset dolar yang produktif.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menyampaikan bahwa kenaikan imbal hasil deposito dolar tidak otomatis membawa modal asing. Justru, efek pertama bisa berupa pergeseran dari modal domestik, di mana deposan dalam negeri beralih menggunakan rupiah untuk mendapatkan dolar. Bank akan mendapat tambahan pendanaan dalam USD, tetapi hanya di sisi kewajiban. Hal ini berarti penambahan liabilitas dolar tanpa adanya kapasitas produktif atau cadangan devisa riil.
Fakhrul menjelaskan bahwa kebijakan ini berpotensi memperbesar permintaan dolar dalam negeri tanpa ada prospek penerimaan dolar baru. Jika tidak ada instrumen kredit atau obligasi dolar yang dapat menyerap likuiditas tersebut, maka pembayaran bunga dolar di masa depan akan semakin besar. Ini disebut sebagai masalah kelangkaan aset dolar.
Ia juga menyoroti bahwa pelemahan rupiah hingga menyentuh Rp 16.700 per dolar AS beberapa waktu lalu dipengaruhi oleh faktor ini. Masa depan akan membutuhkan lebih banyak dolar hanya untuk membayar bunga, sementara sumber devisa riil tidak bertambah.
Untuk mengatasi hal ini, Fakhrul menekankan pentingnya menciptakan instrumen dolar yang produktif. Salah satu opsi yang bisa digunakan adalah obligasi dolar dari BUMN seperti Pertamina, PLN, atau obligasi pemerintah berdenominasi dolar (INDON). Alternatif lain adalah arahkan bank-bank Himbara memperluas pembiayaan ekspor atau membuka cabang di luar negeri untuk menyalurkan dana dolar yang mereka dapatkan.
Ia memberikan contoh bahwa dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan domestik lebih memilih menerbitkan obligasi rupiah karena biaya swap yang murah. Akibatnya, pasar kehilangan instrumen berbasis dolar. Padahal, menurutnya, keberadaan pinjaman, obligasi, atau instrumen lindung nilai (hedging) dalam dolar sangat penting untuk menjaga keseimbangan sistem keuangan.
Jika excess liquidity dolar yang masuk bisa sejalan dengan obligasi atau loan baru, rupiah bukan hanya stabil, tetapi berpotensi menguat kembali ke kisaran Rp16.000 atau lebih kuat. Karena ada mesin penerimaan devisa baru yang nyata.
Fakhrul menegaskan bahwa kebijakan valas tidak cukup hanya berfokus pada bunga deposito. Pada akhirnya, kebijakan dolar adalah cermin dari kemampuan kita menyediakan aset produktif dalam mata uang yang paling diminati dunia. Tanpa itu, setiap tambahan likuiditas dolar hanya menjadi beban bunga, bukan peluang pertumbuhan.
Ia menutup dengan penekanan bahwa tantangan utama bukan sekadar menarik dolar masuk, melainkan memastikan penggunaannya produktif. Jika berhasil, inflow tidak lagi sekadar liability, melainkan mesin kedaulatan ekonomi. Dan di titik itulah rupiah bisa berdiri lebih tegak.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!