
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Menurun
Asian Development Bank (ADB) telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5% menjadi 4,9% pada tahun ini, dalam laporan terbarunya bulan September 2025. Selain itu, proyeksi pertumbuhan untuk tahun 2026 juga dikurangi dari 5,1% menjadi 5%. Angka ini lebih rendah dibandingkan target pemerintah dalam APBN 2025 sebesar 5,2% dan APBN 2026 sebesar 5,4%.
Menurut laporan ADB, penurunan proyeksi ini disebabkan oleh permintaan global yang lebih lemah meskipun permintaan domestik diperkirakan tetap kuat. Meski demikian, ADB menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi masih akan tetap tangguh, dengan perekonomian domestik mampu mengimbangi hambatan eksternal secara lebih efektif pada tahun 2026.
Permintaan domestik, yang didukung oleh stimulus fiskal dan pelonggaran moneter, akan terus menjadi penggerak utama pertumbuhan. Namun, aktivitas global yang melambat dan harga komoditas yang lebih rendah dapat membebani ekspor. Di sisi lain, perjanjian perdagangan yang berkelanjutan dan reformasi struktural diharapkan mampu memperkuat daya saing dan mendukung investasi.
ADB juga menyoroti bahwa risiko secara umum seimbang, dengan ketidakpastian global dan kemungkinan reformasi yang tertunda diimbangi oleh komitmen berkelanjutan untuk membangun iklim perdagangan dan investasi yang lebih kuat. Meskipun ada tantangan, realisasi belanja pemerintah yang membaik secara bertahap hingga tahun 2026 setelah mengalami hambatan pada awal 2025, memungkinkan stimulus fiskal untuk meredam dampak global dengan lebih baik.
Selain itu, dampak pelonggaran moneter yang tertunda juga akan mulai mendukung aktivitas ekonomi. Investasi diperkirakan akan meningkat, sementara risiko terhadap stabilitas harga tetap rendah, memberi ruang bagi bank sentral untuk menjaga kebijakan moneter yang suportif.
Tantangan Struktural Ekonomi Indonesia
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman, menilai bahwa proyeksi pertumbuhan dari OECD dan ADB menunjukkan bahwa ekspektasi global terhadap kinerja ekonomi nasional masih moderat. Angka ini jauh dari ambisi pemerintah yang terus menargetkan pertumbuhan di atas 5,3%–5,5%.
Perbedaan ini bukan hanya sekadar angka statistik, melainkan cerminan bahwa fondasi pertumbuhan Indonesia masih rapuh. Pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga, yang justru melambat karena daya beli masyarakat tergerus inflasi pangan, cicilan kredit, dan ketimpangan distribusi pendapatan.
Rizal juga menyoroti bahwa investasi swasta sebagai sumber pertumbuhan jangka menengah masih terhambat oleh ketidakpastian regulasi dan lemahnya kepastian hukum. Selain itu, hilirisasi yang didorong pemerintah belum menampilkan diversifikasi berarti, karena sebagian besar nilai tambah tetap terkonsentrasi di nikel, sehingga risiko overdependence pada satu komoditas semakin nyata.
Di sisi lain, tren penurunan produktivitas tenaga kerja menunjukkan bahwa bonus demografi bisa berubah menjadi liability jika tidak segera diikuti reformasi pendidikan, pelatihan vokasi, dan penciptaan lapangan kerja berkualitas.
Masalah Fiskal dan Solusi yang Diperlukan
Dari sisi fiskal, masalah kronis masih muncul, seperti realisasi APBN dan APBD yang lambat, serta belanja negara yang lebih banyak terserap untuk subsidi ketimbang investasi produktif. Keterbatasan ruang fiskal juga menjadi kendala dalam membiayai kebutuhan infrastruktur dan transisi energi yang semakin besar.
Untuk menghindari jebakan stagnasi fiskal, Rizal menyarankan agar pemerintah berani melangkah pada terobosan pembiayaan baru, baik melalui sovereign wealth fund maupun green bond. Tanpa langkah korektif dan reformasi struktural yang lebih progresif, sulit membayangkan Indonesia mampu menembus target ambisius di atas 5,5%. Jika tidak, ekonomi nasional berisiko terus terjebak dalam middle growth trap di kisaran 5%.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!