
Perlu Keseimbangan dalam Pembelian Alutsista
Pembelian berbagai alat utama sistem persenjataan (alutsista) oleh pemerintah, seperti jet tempur Rafale dan Chengdu hingga kapal induk Garibaldi, menimbulkan berbagai pertanyaan terkait strategi dan keberlanjutan. Meski langkah ini dianggap penting untuk memperkuat kekuatan militer, pengamat justru khawatir ada aspek lain yang terabaikan.
Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah latihan gabungan personel TNI. Dalam beberapa tahun terakhir, latihan gabungan antara TNI Angkatan Darat, Laut, dan Udara terlihat semakin jarang dilakukan. Hal ini bisa memengaruhi profesionalisme dan kesiapan pasukan dalam menghadapi ancaman.
"Yang dikhawatirkan, kalau terlalu fokus pada pembelian alutsista, tapi ada yang dikorbankan demi beli alutsista. Misalnya, dalam 10 tahun terakhir ini kapan latihan gabungan TNI terakhir," ujar Edna Caroline Pattisina, peneliti Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS).
Selain itu, latihan dasar dan operasional juga tampaknya kurang optimal karena minimnya kesempatan untuk berlatih di lapangan. Hal ini berdampak pada kesiapan dan kemampuan TNI dalam menjalankan tugasnya.
Keterbatasan Anggaran Pertahanan
Anggaran pertahanan saat ini terbatas dan bahkan mengalami penurunan. Dalam RAPBN 2026, anggaran Kementerian Pertahanan (Kemenhan) tercatat sebesar Rp 185 triliun, turun dari outlook 2025 yang mencapai Rp 247,5 triliun. Dari jumlah tersebut, 31 persen dialokasikan untuk kesiapan operasi, peningkatan rumah dinas prajurit, pengadaan alutsista strategis, pemeliharaan/perawatan/peningkatan alutsista, serta pembangunan/pengadaan sarpras pertahanan.
Dengan keterbatasan anggaran ini, rencana pembelian alutsista seperti pesawat tempur dan kapal perang memang harus lebih selektif. Namun, tantangan terbesar bukan hanya soal pembelian, melainkan beban pemeliharaan jangka panjang.
Misalnya, rencana membeli kapal induk Garibaldi yang usianya sudah 40 tahun akan memberatkan biaya harwat hingga beberapa tahun ke depan. Selain itu, pembentukan Batalyon Tempur Pertahanan (YTP) yang menambah 100 batalion organik setiap tahun selama lima tahun juga menimbulkan konsekuensi biaya tambahan.
Biaya Tambahan yang Harus Dipertimbangkan
Biaya tambahan tidak hanya terbatas pada gaji, tetapi juga dukungan fasilitas seperti asrama, rumah sakit, hingga seragam. Hal ini menunjukkan bahwa pembelian alutsista bukanlah sekadar investasi fisik, tetapi juga membutuhkan perencanaan yang matang.
Edna menekankan bahwa pertanyaan utama bukan sekadar apakah anggaran cukup atau tidak, melainkan apakah pembelian alutsista tersebut sudah melalui perencanaan strategis jangka panjang. "Perlu diingat, alutsista itu sistem, bukan hanya alat utama. Jadi, mulai dari pengoperasian, pengawakan, harwat, dan integrasi, hingga basis doktrin yang terintegrasi di antara semua matra."
Selain itu, banyaknya asal negara dan tahun produksi alutsista biasanya menunjukkan indikasi masalah dalam kompatibilitas. Hal ini dapat memengaruhi proses komando dan pengendalian dalam operasional militer. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa alutsista yang dibeli memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan operasional TNI secara keseluruhan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!