
Inflasi dan Tantangan Ekonomi yang Menghiasi Era Pemerintahan Trump
Inflasi selalu menjadi isu utama dalam perekonomian suatu negara, karena dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Ketika harga barang dan jasa meningkat, daya beli masyarakat menurun, sehingga memicu keresahan di berbagai lapisan masyarakat. Di tengah situasi ini, banyak negara berupaya keras untuk menjaga stabilitas inflasi agar sesuai dengan target yang ditetapkan.
Di Amerika Serikat, misalnya, pemerintah terus berupaya mengendalikan laju inflasi. Namun, tantangan global seperti fluktuasi harga energi, ketidakpastian rantai pasok, serta perubahan kebijakan perdagangan internasional sering kali menghambat upaya tersebut. Dalam konteks ini, janji-janji politik untuk menurunkan inflasi kerap menjadi sorotan publik, terutama ketika harapan tidak sejalan dengan realitas ekonomi.
Janji Kampanye Trump untuk Mengakhiri Inflasi
Dalam masa kampanye, Donald Trump sering kali berjanji akan mengakhiri inflasi sejak hari pertama menjabat sebagai presiden. Ia menyatakan, “Mulai dari hari pertama pemerintahan saya, kita akan mengakhiri inflasi dan membuat Amerika kembali terjangkau.” Pernyataan ini dilontorkan saat ia berkampanye di Saginaw, Michigan, Oktober lalu.
Namun, setelah beberapa bulan menjabat, muncul pertanyaan besar: apakah janji itu benar-benar terealisasi? Pertanyaan ini semakin kuat karena tren inflasi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan klaim pemerintah.
Tren Inflasi Sejak Awal Pemerintahan Trump
Berdasarkan data Biro Statistik Tenaga Kerja AS, tingkat inflasi tahunan melalui Indeks Harga Konsumen (CPI) rata-rata mencapai 2,65 persen dari Januari hingga Agustus. Angka ini masih lebih tinggi dari target Federal Reserve sebesar 2 persen, meski tidak terlalu jauh.
Masalah utama bukan pada angka rata-rata, melainkan arah tren inflasi. Saat Trump mulai menjabat pada Januari, inflasi justru menurun dari 3,0 persen ke 2,3 persen pada April. Trump bahkan beberapa kali mengklaim telah menaklukkan inflasi. Pada 8 September lalu, ia mengatakan kepada WABC, “Kita tidak punya inflasi. Harga turun di hampir semua hal.”
Sayangnya, klaim ini belum sepenuhnya sejalan dengan data terbaru. Inflasi kembali meningkat, dan tren ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah belum sepenuhnya berhasil.
Dampak Tarif Impor terhadap Inflasi
Salah satu faktor yang memperberat inflasi adalah kebijakan tarif impor. Menurut analisis Goldman Sachs, hingga Juni 2025, perusahaan hanya meneruskan sekitar 22 persen biaya tambahan dari barang impor kepada konsumen. Namun, jika kebijakan tarif tetap berlanjut, angka itu bisa melonjak hingga 67 persen.
Data terbaru mendukung kekhawatiran ini. Harga bahan makanan naik 0,6 persen pada Agustus — lonjakan tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Harga pakaian dan perlengkapan audiovisual naik 0,5 persen, sementara suku cadang mobil naik 0,6 persen. Bahkan, harga kopi tercatat 20 persen lebih mahal dibandingkan tahun lalu. Secara keseluruhan, harga konsumen meningkat 0,4 persen pada Agustus, kenaikan bulanan terbesar sejak Desember.
Ironisnya, janji Trump untuk menekan inflasi mungkin bisa tercapai lebih cepat jika tidak ada kebijakan tarif yang luas. Kini, publik hanya bisa berspekulasi sembari menghadapi kenyataan bahwa inflasi kembali meningkat.
Kesimpulan
Janji kampanye memang kerap terdengar sederhana, namun realitas ekonomi jauh lebih kompleks. Meski sempat menunjukkan tren penurunan, inflasi di era Trump kembali dipengaruhi oleh faktor eksternal, termasuk kebijakan tarif impor. Pada akhirnya, masyarakat Amerika masih menunggu pembuktian apakah pemerintahan ini benar-benar mampu menjadikan harga-harga tetap terjangkau.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!