
Perbedaan Kekayaan Influencer dan Masyarakat Umum Jadi Topik Hangat di Media Sosial
Beberapa waktu lalu, sebuah unggahan di media sosial X mengundang perhatian publik. Unggahan tersebut menampilkan seorang influencer yang membawa tas mewah dengan harga mencapai Rp 3 miliar saat menghadiri sidang cerainya. Hal ini memicu berbagai tanggapan dari warganet, termasuk pertanyaan tentang perbedaan besar antara kekayaan influencer dengan kehidupan masyarakat umum.
Seorang pengguna akun @tw****sdj menulis, "Gurl idk but I am more concerned with the fact that an individual can hold a 3-billion worth bag while the other Indonesian households struggle to earn 1.8 mio each month. Perputaran ekonominya Indonesia nih sebenernya kek mana sih wkwkw I am so concerned." Tanggapan ini menunjukkan kekhawatiran terhadap ketimpangan ekonomi yang semakin jelas.
Unggahan tersebut telah ditonton oleh lebih dari 3,6 juta pengguna X, dan banyak warganet juga menyampaikan pendapat mereka. Salah satunya adalah @xd****djc yang berkomentar, "Sama gue juga heran, kok bisa ada orang yang sekali makan habis 12 juta meanwhile di Indonesia bagian lain ada yang cuma digaji 1.5 juta perbulan? Kesenjangan sosialnya amat sangat senjang."
Selain itu, @am****djf juga menuliskan, "Jujur ngerasa ga adil juga yaa… perputaran ekonomi segede itu GAP-nya. orang yang berduit akan lebih mudah dapat duit lebih gede lagi… dan kita ya gitu-gitu aja." Komentar-komentar ini menunjukkan bahwa isu ketimpangan ekonomi kini menjadi topik yang sering dibahas dalam diskusi online.
Mengapa Influencer Bisa Mendapatkan Penghasilan Tinggi Meski Ekonomi Lesu?
Pertanyaan tentang kemampuan influencer untuk tetap mendapatkan penghasilan tinggi meskipun ekonomi sedang lesu pun mulai muncul. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa digitalisasi menjadi salah satu faktor utama. Namun, ia juga menyebutkan bahwa digitalisasi juga memperlebar jurang ketimpangan antara influencer dan para pengikutnya.
"Perkembangan digitalisasi terutama media sosial ibarat pedang bermata dua. Segelintir orang memanfaatkan media sosial untuk meraup keuntungan sebagai influencer, tapi sisanya hanya sebagai penonton atau konsumen," ujar Bhima.
Menurutnya, ketika mencari pekerjaan susah dan biaya hidup mahal, konten yang disajikan oleh influencer memberikan kesan bahwa menjadi kaya mudah. "Influencer melakukan monetisasi atas gaya hidup di tengah ketimpangan. Cari kerja susah, biaya pendidikan anak mahal, ditutupi oleh cerita visual menjadi kaya itu mudah dan visualisasi kesuksesan lainnya," tambahnya.
Algoritma Media Sosial Memperkuat Posisi Influencer
Meskipun menjadi influencer tidaklah mudah, Bhima menjelaskan bahwa beberapa dari mereka harus menggunakan barang mewah palsu terlebih dahulu untuk menarik perhatian. "Sebagian awalnya hanya memakai tas dan aksesoris palsu untuk memikat follower," ujarnya.
Setelah mendapatkan pengikut, influencer kemudian mendapatkan endorsement yang memberikan keuntungan finansial. "Kemudian kondisi ini diperburuk oleh algoritma di media sosial yang menjurus ke profil influencer, punya pengikut banyak dan dari situ muncul tawaran endorsement," jelas Bhima.
Dengan meningkatnya pendapatan influencer melalui endorsement, ketimpangan ekonomi semakin tajam. "Makin lama ketimpangan makin tajam antara influencer dan follower-nya," kata Bhima. Ia juga menambahkan bahwa budaya influencer saat ini membuat para pemula semakin sulit masuk karena membutuhkan modal yang cukup besar.
"Modal awal influencer dan mereka yang baru menjadi influencer pun berbeda tajam. Itu akhirnya menjadi entry barrier atau tembok penghalang bagi influencer baru," pungkasnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!