
Perbedaan Margin Laba Antara Perusahaan Cina dan Amerika Serikat
Perusahaan di Tiongkok umumnya memiliki margin laba yang lebih sempit dibandingkan perusahaan sejenis di Amerika Serikat (AS). Hal ini membuat para eksportir Tiongkok semakin rentan terhadap kehilangan pendapatan. Tekanan terhadap industri tersebut semakin besar setelah penerapan tarif oleh Presiden Donald Trump menurunkan permintaan terhadap produk asal Tiongkok. Hasil riset dari Bloomberg Economics menunjukkan bahwa kondisi ini telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut ekonom Bloomberg untuk Tiongkok, Chang Shu dan David Qu, perusahaan Tiongkok mampu bertahan dengan margin laba yang tipis karena dominasi pasar jangka pendek. Namun, pada akhirnya konsumen AS akan menghadapi kenaikan harga. Hal ini bisa terjadi karena tarif yang diberlakukan akan berdampak langsung kepada konsumen, sehingga permintaan akan melemah. Pola serupa telah terlihat selama perang dagang di akhir 2010-an. Namun, dampak kali ini dinilai lebih parah karena cakupan tarif lebih luas serta pembatasan transshipment yang lebih ketat.
Perbedaan Margin Laba di Berbagai Sektor
Riset Bloomberg Economics juga menunjukkan bahwa margin laba bersih perusahaan AS yang terdaftar di sektor barang perdagangan rata-rata mencapai 12% pada tahun lalu. Angka ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan margin perusahaan Tiongkok yang hanya 4,9%. Perbedaan ini paling terasa di sektor komunikasi dan perangkat teknologi. Perusahaan AS mencatat margin laba di atas 20%, sementara perusahaan Tiongkok hanya sekitar 3%.
Selain itu, perbedaan serupa juga terlihat pada produsen bangunan dan produk rumah tangga. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa perusahaan Tiongkok masih menghadapi tantangan signifikan dalam meningkatkan profitabilitas mereka.
Respons Perusahaan Tiongkok terhadap Permintaan yang Melemah
Untuk merespons lemahnya permintaan domestik, perusahaan Tiongkok memilih menurunkan harga dan meningkatkan ekspor ke berbagai negara. Meski demikian, strategi ini dinilai tidak cukup efektif dalam memperbaiki laba perusahaan. Data terbaru menunjukkan bahwa laba perusahaan industri besar Tiongkok selama Januari hingga Agustus tahun ini hanya naik kurang dari 1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Lonjakan laba pada Agustus lebih banyak dipengaruhi oleh basis data yang rendah pada tahun sebelumnya. Selain itu, sekitar 29% perusahaan industri besar Tiongkok masih mengalami kerugian. Angka ini sama dengan rekor tahun lalu, menunjukkan bahwa tekanan terhadap sektor industri Tiongkok belum berkurang.
Proyeksi Aktivitas Pabrik dan Stabilitas Ekonomi
Aktivitas pabrik di Tiongkok diperkirakan kembali menyusut pada September 2025, yang menandai kontraksi enam bulan beruntun. Kondisi ini memperkuat desakan agar pemerintah memberikan stimulus tambahan untuk mendukung perekonomian terbesar kedua di dunia, terlepas dari ketidakpastian kesepakatan dagang dengan AS.
Survei terhadap 32 ekonom memperkirakan indeks manajer pembelian (PMI) resmi akan naik tipis menjadi 49,6 dari 49,4 pada Agustus. Meski demikian, angka ini masih di bawah ambang batas 50 yang memisahkan ekspansi dari kontraksi. Data resmi akan diumumkan pada hari Selasa.
Lesunya aktivitas pabrik mencerminkan tekanan ganda terhadap ekonomi Tiongkok. Permintaan domestik belum pulih secara berkelanjutan sejak pandemi, sementara tarif yang diterapkan Trump menekan pabrik-pabrik Tiongkok sekaligus perusahaan luar negeri yang bergantung pada komponen buatan Tiongkok.
Langkah Pemerintah dan Kebijakan Moneter
Dalam survei, Maybank Investment Bank memberikan proyeksi tertinggi di level 50,0 atau netral, sedangkan Pantheon Macroeconomics mencatat perkiraan terendah di 49,0. Untuk merespons pelemahan ekonomi, pemerintah Tiongkok sempat menggulirkan subsidi kredit konsumsi pada pertengahan Agustus. Kebijakan ini dianggap tepat waktu setelah data produksi pabrik dan penjualan ritel bulan yang sama mencatat pertumbuhan terlemah dalam setahun terakhir.
Gubernur Bank Sentral China (PBoC), Pan Gongsheng, pekan lalu menegaskan bahwa pihaknya masih memiliki beragam instrumen moneter untuk mendukung ekonomi. Namun, ia tidak mengikuti langkah Bank Sentral AS atau The Fed yang menurunkan suku bunga, meski sebagian ekonom sempat memperkirakan hal itu.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!